“Siswa tidak ada yang tertarik untuk ikut,” kalimat singkat itu menjadi akhir sosialisasi saya pada sebuah sekolah.
Padat dan tegas merupakan kata pamungkas yang dapat menyurutkan semangat. Sosialisasi yang dimulai dengan optimisme dan sudah panjang lebar akhirnya terhenti dengan hanya sebaris kalimat. Tidak mungkin ditanya darimana gurunya membuat kesimpulan siswa tidak tertarik untuk ikut. Padahal sosialisasi baru dilakukan terhadap guru-guru, berhubung sekolah sudah selesai penilaian akhir semester, dan siswa sudah tidak ke sekolah lagi. Entahlah… apakah ini cara penolakan terhadap program yang disampaikan atau pengalihan dari alasan untuk pembiayaan.
Lain lagi di sebuah sekolah, satu jam sudah dihabiskan untuk menceritakan program GSMB, berakhir dengan kalimat “kami tidak memiliki sumber dana untuk membiayai ini.” Apa mau dikata, senyuman dan semangat tetap dipertahankan mengakhiri perbincangan. Harus pamit denga cara yang sopan dan tetap menyampaikan dengan penuh pengharapan kalau sekolah itu belum bisa bergabung sekarang, semoga tahun depan bisa ikut berpartisipasi memeriahkan festival literasi.
Kalimat yang disampaikan oleh Bapak Lenang Manggala sebagai Founder Nyalanesia ketika acara opening ceremony dan pengukuhan KSPL Nasional 2021 sangat melekat di kepala. Jika sekolah itu belum tertarik untuk ikut serta, tidak boleh dipaksakan. Jika sekolah menyatakan banyak hal untuk penolakan berarti program ini tidak cocok untuk sekolah tersebut.
Apalagi dengan membaca chat teman-teman di grup B, semuanya menyalakan semangat luar biasa. Malahan cerita mereka lebih heroik lagi. Perjuangan teman-teman menuju sekolah sasaran, jarak tempuh dan melalui medan yang cukup berat membuat saya merasa tida ada apa-apanya. Serta kegigihan mereka dalam melakukan sosialisasi tanpa mengenal lelah. Terlihat dari chat yang selalu meng-update sosialisasi setiap hari.
Sedangkan saya merasa sudah sangat berjuang dengan hanya harus mencuri waktu diantara penilaian akhir semester, e-rapor dan deadline KTSP. Lima belas hari sudah uji penerjunan terlewati, belum ada sekolah yang positif untuk ikut serta. Ketika jadwal uji penerjunan masih tersisa, peserta didik di kabupaten Tanah Datar telah libur akhir semester.
Ketika kaki mulai gontai untuk melakukan sosialisasi, tiba-tiba muncul pesan singkat yang berkesan dan sangat inspiratif dari mentor saya di grup B, Bapak Akbar Bagus Wicaksono, “ .. dan semesta tidak akan lupa cara berterima kasih atas kebaikan yang pernah kita lakukan.” quote sederhana yang sangat menarik dan memantik ketika pesimis mulai merasuki diri. Chat ini saya bintangi dan saya baca berulang dan memaknainya. Saya yakinkan hati dan diri untuk terus melangkah.
Dipenghujung uji penerjunan, pada menit-menit terakhir saya membuktikan kebenaran kalimat itu. Kepala sekolah saya menyetujui ikut serta. Tak terperi bahagianya hati, karena sekolah sendirilah satu-satunya pengharapan. Setelah beberapa sekolah yang bisa saya sosialisasikan belum bisa untuk berpartisipasi dengan alasan sumber dana dan ketidaktertarikan siswa untuk menulis.
Sekolah saya sendiri antusias untuk ikut serta setelah saya berikan keyakinan dengan fasilitas yang akan diperoleh. Serta pengalaman saya pernah menerbitkan buku tunggal memberikan konstribusi untuk meyakinkan kepala sekolah. Saya sampaikan kalau saat itu saya mengeluarkan biaya kurang lebih dua juta rupiah. Alhamdulillah, kepala sekolah menyetujui serta mendukung langkah saya untuk menjadi SPL Nasional.
Dukungan penuh dari kepala sekolah untuk keikutsertaan Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional tahun 2021 ini semoga menjadi kunci untuk keberhasilan sosialisasi tahap berikutnya. Saya berkeyakinan, jika presentasi kita berdasarkan pengalaman pernah ikut berpartisipasi dalam GSMB akan memberikan pemahaman lebih terhadap sekolah tujuan. Serta pertanyaan yang muncul mengenai segala sesuatunya tentang program dapat dijawab dengan lugas dan full yakin.
Hal yang paling penuh perjuangan menurut saya adalah ketika menyampaikan bahwa untuk ikut serta dalam program ini sekolah memberikan konstribusi sebesar lima puluh ribu rupiah per karya. Disinilah intinya sosialisasi, seolah kita harus memiliki kemampuan “menjual.” Padahal kalau dibandingkan dengan fasilitas yang didapat, harga itu tidaklah berarti. Andai sekolah ingin menerbitkan sebuah buku antologi baik karya guru maupun siswa, sekolah akan mengeluarkan biaya kurang lebih sama. Biaya editing, layout, pembuatan cover, pengurusan ISBN, sampai buku siap untuk dicetak.
Sedangkan fasilitas yang diberikan oleh Nyalanesia tidak hanya setiap peserta akan diberikan buku cetak, tapi banyak fasilitas yang sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh sekolah. Diantaranya e-piagam, e-sertifikat, berbagai workshop untuk peningkatan kompetensi, fasilitas penerbitan buku tunggal, dan banyak lagi fasilitas lainnya yang diperuntukkan untuk siswa dan guru penulis, fasilitas untuk sekolah dan kepala sekolah, serta fasilitas untuk guru koordinator.
Nah, jika kita nanti bercerita berdasarkan pengalaman ikut serta dalam GSMB, tentu lebih meyakinkan dan lebih menarik dibanding kita hanya menyampaikan “teori” atau berdasarkan pemahaman terhadap buku panduan. Sama halnya ketika mengajar di kelas. Menjelaskan kepada siswa berdasarkan pengalaman akan lebih meresap dan lebih cepat dipahami siswa.
Begitu juga dengan memberikan bukti bahwa dana yang disetorkan tidak akan “hilang” begitu saja. Pertanyaan ini kerap muncul dan kita tidak dapat menyalahkan si penanya. Karena wajar saja yang berhubungan dengan uang, semua orang akan berhati-hati dan perlu legalitas.
Berjuang untuk literasi membutuhkan keyakinan dan ketangguhan. Kewajibannya kita sebagai KSPL hanya mensosialisasikan, sehingga literasi membumi di negeri tercinta. Keikhlasan terhadap beragam sambutan setiap sekolah akan membuat kita berlapang hati dan meneruskan cita-cita untuk menyalakan masa depan Indonesia.