Literasi dan Advokasi - Penggerak Literasi

Literasi dan Advokasi

Literasi menjadi sebuah dunia yang sejak lama saya lakoni. Tak hanya dalam hal pekerjaan, dalam masalah merintis rumah-tangga saya pun juga beranjak dari dunia literasi. Saya teringat Pram, seorang sastrawan besar yang pernah dilahirkan oleh bangsa Indonesia, “Kalau kau bukan anak siapa-siapa, maka menulislah.”

Anjuran Pram itu bukanlah sebentuk isapan jempol belaka. Anjuran itu adalah sebuah penegasan tentang betapa pentingnya laku menulis. Barangkali, selaku orang Jawa, tak ada data yang lebih tua dalam kesusastraan Jawa tentang pentingnya dunia literasi daripada kisah Sastrajendra dalam dunia pewayangan.

Sastrajendra, yang konon berarti teks yang mampu menciptakan keselamatan (harja) dan keelokan (endra), adalah sebentuk pengetahuan yang dapat merubah seorang denawa atau raksasa menjadi seorang dewa. Secara tersirat, Sastrajendra adalah sebuah pengetahuan dan pandangan hidup yang berisikan aksara-aksara Jawa dengan disusun sedemikian rupa dan konon dapat melepaskan orang dari segala petaka. Dengan demikian, dalam kesusastraan atau kebudayaan Jawa, bahwa tak benar jika tulisan adalah hal yang bersifat sekunder.

Dunia literasi pun, dalam pengalaman saya, ternyata mampu untuk digunakan sebagai sarana advokasi. Ada sebuah teori yang menyatakan bahwa kata-kata dapat memahat dunia. Gerakan Zapatista di Chiapas tak pernah mementingkan bedil untuk memperjuangkan hak-haknya. Mereka, lewat juru bicaranya, el-Sub, banyak menggunakan komunike yang sarat dengan nilai-nilai sastrawi. The Story of Colours adalah salah satu dongeng anak karya el-Sub yang sempat diterbitkan dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Buku yang ditulis di tengah suasana pemberontakan itu berisikan kisah-kisah yang mewedarkan pluralisme dan penghargaan terhadap perbedaan.

Dunia literasi menjadi penting  ketika orang melek akan wacana-wacana poststrukturalisme yang mampu menggeser peran mata (empirisme) dan nalar (rasionalisme) atas bahasa dalam proses memperoleh serta mewedarkan pengetahuan. Maka tak ayal ketika Derrida, salah satu eksponen poststrukturalisme, menegaskan bahwa, “Nothing outside of the text.”

Dengan paradigma seperti itulah saya menjadikan literasi sebagai sarana untuk berperang melawan radikalisme dan terorisme, mengangkat serta memperjuangkan hak-hak kaum penghayat ataupun para pewaris kearifan nusantara (Petaka Melankolia: Perihal Kebhinekaan, Kenusantaraan, Radikalisme dan Terorisme, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2021 dan Gula Klapa: Kapitayan dan Persinggungannya dengan Sufisme, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2021).

Dunia digital yang kini tengah kita hidupi menuntut pula tingginya kesadaran akan pentingnya literasi. Tentu, dalam hal ini saya berbicara pada tataran idealitas. Dan tepat pada titik inilah persoalan timbul. Banyaknya cibiran pada gerakan-gerakan literasi pada dasarnya, bagi saya, bukanlah wujud kegagalan para aktifis literasi untuk membudayakan dunia literasi. Namun, cibiran-cibiran itu adalah wujud kegagapan orang dalam melakoni kehidupan kontemporer secara keseluruhan yang semakin teknologis dan otomatis literatif.

Jadi, bagi saya, kegagalan-kegagalan gerakan-gerakan literasi, seandainya pun ada, bukanlah sebentuk kiamat dunia literasi. Pada waktunya, karena tuntutan zaman, orang akan literate sebagaimana kemampuan menggunakan mesin ketik yang di hari sudah tak ada dan tergantikan komputer ataupun laptop.

Salam,

Heru Harjo Hutomo: penulis, peneliti lepas, perupa dan pemusik, Nominator Adi Acarya Award 2020 dan Juara Nasional Adi Acarya Award 2021 Kategori Karya Terbaik.

Artikel Terkait