Mengubah Tepung Singkong Serasa Keju - Penggerak Literasi

Mengubah Tepung Singkong Serasa Keju

Apa yang ada dalam benak Anda ketika disodorkan pada dua pilihan, pilih singkong atau keju? Kalau saya sih pilih singkong keju, jauh lebih lezat dan bervariasi. Tapi jika tetap harus memilih, saya memilih singkong. Maklum, lidah saya terbiasa dengan masakan nusantara, yang lebih akrab dengan singkong dibandingkan keju. Tentu saja itu versi saya, yang lain silahkan dengan pilihan masing-masing.

Pilihan singkong dan keju biasanya digunakan sebagai analogi tataran kehidupan atau kemampuan seseorang. Keju melambangkan kelas di atas rata-rata, sedangkan singkong melambangkan kelas menengah ke bawah. Ini cukup populer di era 80-an melalui lirik lagu yang dimainkan Arie Wibowo dalam single “Anak Singkong.” Nah, masalahnya sekarang, mampukah tepung singkong diolah menjadi produk yang tak kalah lezat dari bahan makanan yang terbuat dari keju?

Di tangan seorang koki hebat, itu bukanlah hal yang mustahil. Justru, kemampuan sesungguhnya dari seorang koki terletak ketika dia mampu mengolah tepung singkong menjadi sajian seolah berasal dari keju. Demikian halnya dengan guru. Guru yang hebat adalah guru yang mampu menggerakkan potensi dalam diri siswa. Kita semua yakin, tidak ada siswa yang bodoh. Mereka adalah anak-anak yang memiliki potensi. Tergantung peran dari guru untuk meramu anak didiknya, agar kelak memiliki kebanggaan dalam kehidupnya. Layaknya seorang koki yang handal, guru juga dapat memoles siswa menjadi pribadi yang luar biasa.

Berbicara tentang profesi guru, saya teringat bagaimana Bang Andy F. Noya berjuang mencari Bu Ana, sosok guru yang mampu memberikan sentuhan berharga pada kehidupannya. Dari kasih tersebut, bukankah Bu Ana telah mampu membuktikan bahwa dia adalah guru hebat. Bu Ana adalah “koki” handal, yang mampu mengubah tepung singkong menjadi keju sekaliber Andy F Noya saat ini. Demikian halnya dengan Mas Bukik Setiawan. Sosok mantan dosen yang berani mengambil langkah ekstrim merintis merdeka belajar. Untuk siapa? Untuk para siswa yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

Saat ini, “kostum” koki telah saya kenakan bersama para SPL Nasional dan PLD, di dalam “dapur” milik nyalanesia. Mampukah saya menggoreng layaknya Bu Ana ketika memoles Bang Andy F Noya? Saya guru, sama seperti Bu Ana dan hampir mirip dengan Mas Bukik yang mantan dosen, yang pasti gaji dosen lebih besar sih dari pada gaji guru. Terpilih menjadi SPL Nasional jelas menjadi kebanggaan tersendiri. Sekaligus menjadi tantangan di tengah padatnya aktivitas harian. Belum lagi situasi pandemi yang tak tahu kapan akan pergi. Banyak kesan yang terukir selama kurang lebih satu bulan penerjunan. Mengajak orang lain untuk menulis ternyata bukan hal yang mudah. Jangankan mengajak sekolah lain, mengajak rekan sendiri saja bukan perkara mudah. Penolakan demi penolakan banyak saya dihadapi. Terlebih lagi menyangkut pembayaran program.

Tapi, bukan koki yang hebat jika tidak pernah merasakan perihnya teriris pisau dapur. Saya terus melangkah mengetuk satu pintu gerbang sekolah ke pintu gerbang yang lain. Satu semangat yang tersurat, literasi memiliki nama besar dari sebuah program yang bagus. Di tengah penolakan itu, suatu saat nanti pasti akan ada sekolah yang membuka diri, dan itupun terbukti. Meskipun belum mampu menjadi sosok seperti Bu Guru Ana, sebagaimana yang dirasakan oleh Bang Andy F Noya, tapi setidaknya ada sebuah gerakan nyata mengajak siswa untuk berkarya.

Kini, kami berada dalam tahap pengkaryaan gelombang dua. Seratus siswa yang menjadi binaan saya secara langsung (siswa tempat saya mengajar) seakan sudah tidak sabar menanti kapan buku mereka akan terbit. Maklum, menulis buku bagi mereka adalah sebuah pengalaman baru. Pengalaman yang selama ini jauh dari angan-angan dan dalam waktu dekat akan menjadi kenyataan. Mereka adalah “singkong-singkong” yang saat ini sedang saya poles dengan lapisan “keju.” Dengan harapan kelak para siswa ini mampu mengembangkan diri, berkarya, dan menggali potensi yang mereka miliki.

Bagi saya terpilih menjadi SPLN 2021 merupakan anugerah tersendiri. Saya bisa berkumpul bersama orang-orang hebat yang cinta dengan literasi. Bahkan, sebagian besar dari SPLN ini adalah para penulis hebat. Ibarat besi yang bersentuhan dengan magnet, maka besi itupun kelak akan mewarisi sifat magnet juga. Demikian halnya dengan saya, bergabung dengan para penulis handal, saya yakin suatu saat bisa ketularan menjadi penulis hebat juga. Doakan ya.

(*SPLN 2114)

Artikel Terkait