Ketika Tim Nyalanesia membuka perekrutan SPL Nasional, saya mencoba untuk ikut. Awalnya, saya tidak tahu apa itu SPL. Motivasi saya ikut adalah ingin menambah pengalaman dan menambah teman baru. Cuma alasan itu saya mencoba ikut dalam perekrutan tersebut.
Untuk mengikuti perekrutan SPL Nasional, terlebih dahulu mendaftarkan diri. Tim Nyalanesia membuka 3 tahap seleksi. Tahap Pertama menyeleksi 1000 KSPL. Dalam tahap ini, saya lulus. Setelah itu menuju tahap kedua. Untuk menuju tahap kedua, Peserta KSPL diwajibkan menjawab soal yang diberikan oleh panitia. Diberikan waktu yang sangat terbatas. Tahap kedua ini hanya membuka kuota 500 KSPL Nasional. Sayapun dinyatakan lulus.
Tahap ketiga menyeleksi 100 KSPL Nasional. Untuk menuju tahap ketiga, seleksi semakin ketat. Di sinilah, hati saya menjadi dag-dig-dug, apakah saya lulus menjadi tahap ketiga. Untuk menjadi 100 SPL, setiap peserta harus terjun ke sekolah-sekolah untuk menyosialisasikan tentang nyalanesia dan Program GSMB. Tahap ini berat. Kenapa saya katakan berat? Karena di Indonesia lagi pandemi. Pemerintah membuat keputusan untuk memindahkan proses pemebelajaran yang tadinya di sekolah menjadi di rumah. Peralihan pembelajaran ini memaksa berbagai pihak untuk mengikuti alur yang sekiranya bisa ditempuh agar pembelajaran dapat berlangsung dengan cara memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran daring.
Sebelum terjun ke sekolah, KSPL Nasional mendapatkan administrasi program nyalanesia dalam bentuk softfile, berupa Surat Tuga KSPL, Surat Undangan Sekolah, Petunjuk Tekhnis Program, dan Buku Panduan Program GSMB, Tanda Pengenal KSPL Nasional, MMT Kampanye Literasi dan Surat Kerja sama Instansi.
Kesan saya selama ikut KSPL adalah saya menemukan keluarga baru dimana teman-teman memiliki satu pemikiran yang sama dengan saya yaitu mempercepat literasi dan meningkatkan minat baca di Indonesia.
Tingkat literasi Indonesia di dunia rendah. Indonesia menempati rangking ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi, atau berada 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Selain itu, peserta KSPL ini juga mempunyai latar belakang suku yang berbeda-beda. Hal ini lah menjadi seru. Saya dapat menambah perbendaharaan kata (Bahasa daerah). Itulah membuktikan Indonesia adalah negara majemuk.
Pada masa pandemi, kegiatan penerjunan ke sekolah untuk menyosialisasikan program GSMB rasanya tidak optimal. Kita hanya bisa meyampaikan informasi via WA ataupun media yang lain. Saat saya menyampaikan hajat, kepala sekolah respon untuk ikut. Namun untuk mengajak siswa ini yang menjadi terkendala. Untuk menghubungi siswa susah karena banyak kendala. Dalam tahap ini, saya mendapatkan ilmu bagaimana berkomunikasi yang baik dengan kepala sekolah.
Dalam tahap ketiga, ternyata saya tidak lulus menuju 100 SPL Nasional. Walaupun tidak lulus, saya tetap semangat menjadi Penggerak Literasi Daerah (PLD). Saya pun memutar otak saya untuk tahap sosialisasi ini. Saya mem-posting seputar program GSMB di media sosial. Hal ini saya lakukan untuk menyuarakan literasi, supaya orang melihat dan menjadi viral. Saya mempunyai kemauan yang kuat bagaimana minat baca anak-anak semakin tinggi dengan hadirnya penggerak literasi.
Penggerak Literasi Daerah (PLD) harus mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap anak bangsa dan berguna untuk orang banyak. Tidak diragukan lagi bahwa peran guru sebagi penggerak literasi sangat diperlukan. Bagi saya aktivitas literasi adalah niscaya dan harus jadi kebiasaan.
Menjadi penggerak literasi itu keren karena dapat berguna untuk orang banyak dan membantu mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga Indonesia mempunyai budaya membaca dan menulis.