Menyerah Bukan Pilihan - Penggerak Literasi

Menyerah Bukan Pilihan

Takdir itu sedemikian kompleks. Pernah ingin jadi fasilitator literasi tapi karena bukan di Aceh sehingga tidak ada izin dari keluarga. Hari itu ketika bosan menyerang, buka-buka instagram tiba-tiba muncul info SPL Nasional. Lalu mencari info lebih banyak di WEB, youtube juga. Membaca apa yang didapatkan oleh daerah saya jika saya ikut terlibat dalam 100 SPL Nasional.

Sejak 2018 saya ikut menyuarakan baca buku di mana saja kemudian mulai membuka kelas-kelas literasi di rumah. Mulai mengajak lebih banyak orang untuk jadi Donatur, Relawan dan peserta. Gerakan itu cukup membuat banyak orang kepo di Aceh Barat Daya, beberapa instansi juga. Akhirnya, gerakan itu diberinama Sigupai Mambaco (Abdya membaca), gerakan yang inginnya bukan hanya membaca tapi juga menulis.

Menulis itu tentang karya sehingga meninggalpun tentu ada dibaca. Hal ini membuat saya semangat sekali mengikuti seleksi untuk SPL ini. Setelah mencari info akhirnya saya mendaftar. Mengisi semua yang diminta, saya mengisi sebaik-baiknya.

Ketika pengumuman, saya diberitahu teman bahwa saya lulus seleksi administrasi dan masuk 1000 besar. Beberapa hari kemudian di kirimkan link untuk uji kompetensi tentang program Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB), untuk memilih 500 besar. Soalnya cukup banyak dan ketika membaca pengetahuan yang sebelumnya sangat berguna terutama info di Youtube.

Begitu pengumuman 500 besar yang pertama saya cari adalah provinsi Aceh, ada beberapa orang yang lulus. Saya mencari yang dari Aceh Barat Daya dan seorang magister. Sebab tidak saling kenal, saya mencarinya di media sosial namun hingga kini tidak ada kontak apapun kebetulan tidak satu grup juga.

Hari pengukuhan, sinyal sedang belagu sekali. Saya terpaksa ke warung kopi yang paling kencang di Aceh Barat Daya tapi isinya 98% laki-laki. Saya memilih lantai atas apalagi menggunakan baju putih dan jilbab hitam. Hari itu uji penerjunan diumumkan.

Kabupaten Aceh Barat Daya, jika tidak melapor ke Kepala Dinas untuk kegiatan tentu tidak diterima, begitulah kabupaten ini menyeleksi ajaran tidak baik dalam dunia pendidikan. Saya tidak bisa langsung sosialisasi karena belum mengantongi surat dari dinas pendidikan. Akhirnya saya ke Dinas Pendidikan untuk meminta bertemu bapak kepala dinas.

Kebetulan saya bekerja. Jarak antara dinas pendidikan dengan kantor saya membunuh waktu 30 menit dengan jalanan berbatu tepatnya tanpa jalan. Ketika sampai di dinas ternyata bapak kepala dinas tidak ada. Kebetulan untuk urusan taman baca saya mengenal beberapa orang di bidang PAUD dan Pendidikan Luar Sekolah. Saya meminta ibu Hanum, salah seorang staff yang sekarang di GTK, mengabari saya jika bapak sudah di kantor karena saya harus balik bekerja. Akhirnya saya kembali ke kantor. Sekitar 10 menit di kantor, bu Hanum mengabari saya. Sebetulnya waktu itu tangan saya masih memerah karena jalanan batuan tapi mengigat berjumpa dengan pejabat tidaklah gampang apalagi dedline penerjunan kejar-kejaran dengan jadwal sekolah yang akan segera libur. Saya kembali ke Dinas pendidikan, bertemu dengan Bapak Kepala bagian pendidikan dasar, menjelaskan program hingga disetujui. Meski dengan nada prihatin mengatakan :

“Di Abdya ini susah orang mau ikut kegiatan literasi apalagi berbayar. Tapi tidak apa-apa, kamu harus tetap semangat. Saya membuat surat rekomendasi dan nanti kamu sosialisasi ke sekolah-sekolah yang biasanya mau dengan program inovasi.”

Surat tersebut baru diajukan kepada kepala Dinas hari Kamis dan surat baru keluar esok harinya. Barulah saya bisa sosialisasi. Sekolah pertama yang saya tuju adalah SDIT Rabbani Quran School, terlihat antusias. Mengisi link survey literasi sekolah hingga foto bersama, semuanya lancar tapi pada akhirnya sekolah ini tidak mendaftar karena sekolah sedang sibuk dengan banyak sekali kegiatan, persiapan pembagian rapor dan tidak sempat memberitahukan kepada siswa.

Sebelum ke sekolah-sekolah kebetulan saya satu grup dengan beberapa sekolah SD dan SMP di WA, saya mengirimkan kabar tentang Gerakan sekolah menulis buku dan memberitahukan saya adalah salah satu dari 500 sosialisator yang sedang dalam masa uji penerjunan. Kepala sekolah Jeumpa merespon positif. Saya langsung japri dan membuat janji.

SMP 1 Jeumpa memang luar biasa sambutannya. Sekolah ini sudah bagus penerapan literasinya, saya diarahkan kepala sekolah untuk mengobrol dengan guru yang membina literasi. Ibu kepala sekolah ada kegiatan gotong royong. Ternyata, guru pembina literasi mengenal saya dari tulisan saya di koran lokal. Sekolah ini paling cepat prosesnya, pendaftaran hingga pembayaran.

Keesokan harinya saya lanjut sosialisasi ke sekolah lain yang penerimaannya biasa saja. Namun ada sekolah yang ketika saya baru sampai dan mengutarakan niat ingin sosialisasi tentang gerakan menulis buku, ibu gurunya mengatakan tidak ada kepala sekolah.

“Telpon saja ibu kepala sekolahnya” ujar guru lain.

“Untuk apa? Ini tidak penting juga. Lagian ibu kepala sekolah pasti capek karena baru pulang dari Banda Aceh. Suruh aja balik lagi nanti”

Saya tidak menyerah, langsung pamit dan mencari sekolah lain. Perjalanan ke sekolah lain sekitar tiga puluh menit. Ketika saya datang untuk bertemu kepala sekolah sedang sibuk dengan tukang pasang CCTV,  saya hanya berdiri di luar tidak dipersilahkan masuk apalagi duduk. Tiga puluh menit saya di sana baru kemudian dipanggil. Saya diminta menjelaskan dengan cepat lalu kembali ada tamu dan saya kembali menunggu. Kepala sekolah tidak antusias sama sekali bahkan surat undangan ditaruh sembarangan dan mengatakan bahwa saat ini anak-anak jarang ke sekolah, banyak tugas, banyak pekerjaan, guru juga sama lagipula sekolahnya tidak terlalu konsentrasi pada literasi memang penting tapi belum untuk tahun ini, apalagi berbayar. Saat saya minta di isi riset literasi sekolah, ibunya menyuruh saya isi dan beliau menjawab apa yang saya tanyakan. Saya tidak sempat berfoto karena setelah itu ada tamu lagi. Untuk sekolah umum sungguh banyak hal yang saya alami.

Selain itu, ada sekolah yang tertarik tapi jadwal tidak cocok dengan kesibukan sekolah, guru terlalu banyak beban dan akhirnya berpesan agar saya terus semangat.

Saya mendatangi kantor kemenag setelah memperoleh surat kerjasama dari Nyalanesia. Ternyata Bapak Kepala Kemenag sedang di luar kota, saya bertemu dengan Bapak Kepala Bidang Pendidikan Islam. Sambutannya sangat baik, bahkan bapak tersebut mengenal saya karena saya artikel tentang saya pernah dimuat di Kompas, jadi urusannya menjadi lebih gampang. Saya disuruh balik lagi hari senin untuk mengambil surat rekomendasi.

Urusan dengan Kemenag sungguh teratur dan rapi. Ketika suratnya jadi, staff di bagian Pendis langsung menyebarkan ke Grup WA guru dan kepala sekolah di lingkungan Kemenag.

“Nanti kamu turun sosialisasi di beberapa sekolah terdekat saja karena hari sabtu sekolah sudah mulai libur. Saya rekomendasikan beberapa sekolah yang kemungkinan besar akan menerima program ini” Ujar staf tersebut.

Seorang staf tata usaha di Pendis mem-fotocopy surat rekomendasi lalu mengisi dalam amplop. Hari itu, sosialiasi di lingkungan kemenag saya lakoni. Saya sampai tiga kali mendatangi satu sekolah yang cukup populer di lingkungan kemenang dengan banyak prestasinya, namun qadarullah, tidak pernah bertemu dengan kepala sekolah meski sudah ditunggu. Saya belum menyerah, pergi ke sekolah lain yang ditolak dengan alasan tidak ada biaya, sekolah swasta yang disongkong yayasan.

Pada sosialisasi terakhir, saya mendatangi MTsN 1 Aceh Barat Daya yang sambutannya sangat positif. Kepala sekolah mengiginkan adanya penerbitan buku selama beliau menjawab. Kebetulan sekali, guru koordinator yang ditunjuk adalah teman SMA saya. Setelah mengobrol panjang, sekolah setuju mendaftar. Sekolah ini yang benar-benar saya desak pembayaran sebelum jam dua belas malam tanggal 25 Juni 2021. Kepala sekolah ingin membayarnya tanggal 26 Juni 2021, saya memohon kepada guru koordinator agar membantu saya mendapatkan poin dengan pembayaran di tanggal 25 Juni 2021. Syukurnya, segala hal berjalan baik. Meski setelah MTsN 1 Abdya saya jatuh sakit dan tidak bisa sosialisasi, saya sosialisasi via WA ke beberapa sekolah, yang nomor handphone kepala sekolahnya ada pada saya. Responnya macam-macam yang paling banyak membaca pesan tanpa membalas, enggan mengangkat telepon.

Rintangan yang merintang ketika masa penerjunan, rasanya membuat saya ingin menyerah namun menyerah bukan pilihan yang tepat. Alasan saya ingin menyerah waktu itu, saya sakit, keuangan menipis, respon dari sekolah tidak terlalu bagus. Namun, semangat itu muncul, sekalipun saya tidak terpilih sebagai SPL Nasional, saya tetap senang jika ada sekolah yang mendaftar. Setidaknya, saya sudah tau keadaan lapangan literasi menulis di Kabupaten Aceh Barat Daya, setidaknya saya sudah berkunjung dan berusaha ke sekolah-sekolah.

Takdir itu sedemikian kompleks, dua hari sebelum pengumuman Mas Akbar, Mentor Grub B KSPL 2021 menelepon saya dan bertanya banyak hal tentang penerjunan. Saya sungguh tidak menyangka akhirnya saya terpilih menjadi 88 Orang SPL Nasional 2021. Memang menyerah bukan pilihan, jika saya memilih menyerah saat itu, tentu saya sudah tamat dan semangat tersebut hanya menjadi sebuah kenangan yang akan mengganggu saya.

Artikel Terkait