Setelah pembagian rapor kemarin, saya dan keluarga memutuskan untuk berlibur sejenak ke rumah mertua yang terletak di Kota Lhokseumawe. Saya benar-benar meliburkan diri dari kebisingan WAG yang salah satunya adalah grup KSPL Nasional. Bukan apa-apa, hati sangat cemburu melihat hasil manis dari kegigihan para pejuang KSPL Nasional lainnya, sementara saya belum ada info dari target sekolah yang ingin bergabung menjadi penyala, sehingga untuk meredamnya saya menjaga jarak dari cuitan-cuitan di grup tersebut. Beberapa hari sebelum penutupan penilaian KSPL Nasional, hati sudah tidak karuan. Ada kepasrahan di sana, apapun yang terjadi sudah kehendak-Nya, pikirku. Android pun tak tersentuh akibat kuota lokal yang menjadi amunisi, manakala berada di luar kota ya tak terpakai. Tatkala saya mencoba mengaktifkannya via hotspot android suami, deg…degup jantungku, lha kok ada panggilan Mas Mentor, panggilan pentingkah ini atau hanya sekedar salah pencet, perang hatiku, begitu. Hatiku berpihak pada yang kedua.
Tibalah hari Jumat Barokah, hati berdesir semoga ada pencerahan. Ini adalah hari terakhir penilaian, hari penting bagi sejarah perjalanan penggerak literasiku. Kulirik android sejenak, ada chat dari Mas Mentor. Beliau membuka pembicaraan memintaku menfollow-up sekolah yang menjadi target penyala. Saya bergegas menghubungi sekolah target, dan ternyata tepat bakda salat Jumat pihak sekolah selesai melunasi biaya administrasi. Wah, alhamdulillaah, sujud syukur pada ilahi rabbi…
Untuk pengumuman dijadwalkan pada tanggal 30 Juni, ada perasaan sedikit berharap tuk mendapat posisi SPL Nasional, namun terpatahkan dengan dalih cuma dapat 1 sekolah. Kembali kepasrahan menjadi solusinya. Tepat di hari penutupan pihak panitia melakukan closing ceremony dengan mendengarkan kesan dan pesan dari perwakilan 3 grup KSPL Nasional. Serta diinfokan bahwa pengumuman diterbitkan pada malam hari. Ada perasaan lega di sana, jika memang rezekiku maka aku ada di 100 SPL Nasional ini. Bismillaah… pada sore hari menjelang magrib di daerahku, aku scroll percakapan grup, ternyata sudah terbit link pengumuman dag-dig-dug, degup jantung semakin kencang, tak berani membuka link tersebut. Khawatir kecewa. Setelah jeda beberapa saat kuberanikan diri untuk membuka link, kumulai mengetik di menu pencarian.
Allahu Akbar, namaku ada di urutan 45, satu-satunya dari Kabupaten Aceh Timur. ALHAMDULILLAAH Yaa Allaah…. Wah mimipiku jadi nyata, ingin menjadi SPL Nasional pertama di daerahku, yang pertama yang akan membuka jalan selebar-lebarnya untuk membumikan literasi menulis ini. Bismillaah…
Euphoria ini segera saya bagikan ke suami dan anak-anak, orang tua dan adik yang setia mendampingi debut perjalanan literasi ini, lega rasanya. Saya seperti di awang-awang yang akan mengepak sayap terbang menjelajahi pelosok negeri untuk membawa misi Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional ini. Saya akan melayangkan kolaborasi melintasi berbagai instansi, forum dan komunitas. Itu cita-citaku, agar orang-orang mengenalku dengan label Miss Literasi. Entah mengapa saya terlanjur jatuh hati dengan dunia ini, setelah mengikuti workshop mengenai literasi di bulan Maret lalu. Saya melihat pemateri yang adalah sekumpulan anak-anak muda gigih dalam menggaungkan literasi. Saya menemukan klik di sana.
Sama halnya yang dilakukan oleh Pak Andi F. Noya dalam menggali pengalaman-pengalaman para penggerak di daerah pelosok negeri untuk kemudian diundang menjadi bintang tamunya di acara Kick Andy, luar biasa energi semangatnya benar-benar tertancap di hati pemirsa. Saya juga baru tahu bahwa masa kecil pak Andy sesulit itu, luar biasa tangan dingin Mama dalam mendidiknya. Pun begitu salut dengan motivasi Bu Ana, sang guru favorit pak Andy, sungguh sangat menginspirasi.
Demikian juga dengan Pak Bukik, semangat belajar terus terpatri walau Covid-19 sudah menyinggahinya. Hal ini mengingatkanku pada adik angkatku, yang kutemukan saat aku menjadi guru PPL di Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya yang terdampak bencana Tsunami 2004. Tepat tiga bulan sebelum Ramadhan 2005 saya dan beberapa teman diantarkan oleh dosen ke Teunom untuk menjalankan tugas PPL, melakukan penelitian untuk melengkapi data skripsi, dan menjadi mahasiswa KPM yang mengabdikan diri di sana. Saya dan teman-teman tinggal di rumah Melda, yang merupakan putri daerah. Pagi hari saya mengajar di SMPN 1 Teunom, kala itu letaknya tak jauh dari rumah Melda. Pertama masuk di kelas 8 saya melihat anak ini berbeda dari teman-temannya. Saya dekati dan mengajaknya ngobrol. Saya bertanya tentang keseharian dan keluarganya. Ternyata abangnya sekolah di pondok pesantren dekat kos-kosan saya di Lampriet, Kota Banda Aceh. Saya bertanya, “Kamu kenapa tidak ikut abang mondok?”
“Enggak tahu, Bu”, jawaban polosnya.
Hari demi hari saya semakin dekat dengan dia dan teman-temannya, saya mengajak anak-anak ke rumah Melda tempat tinggal saya untuk membaca, karena saya membawa beberapa buku cerita anak dan novel-novel islami, yang menjadi program andalan pengabdian saya yaitu membuka pustaka mini di halaman rumah Melda. Dia dan teman-temannya datang bergantian. Saya menyambut hangat mereka dengan menyuguhkan buku-buku yang saya sediakan.
Malam berganti siang, beberapa kali purnama telah terlewati dengan indah, tibalah waktu saya dan teman-teman akan segera dijemput oleh dosen, tepat 2 pekan sebelum Ramadhan datang. Antara sedih berpisah atau senang kembali ke dunia kampus, entahlah. Hari terkahir itu saya tidak melihat ia datang untuk mengiringi kepulangan saya. “Dia sakit, Bu”, jerit salah satu anak didikku, yang sepertinya tahu gelagatku. Sedih rasanya mendengar bahwa dia jatuh dari sepeda saat pulang sekolah. Saya menitipkan bingkisan untuknya. Isinya adalah buku cerita tentang si Elang. Saya ingin dia termotivasi seperti si Elang itu.
Kembali ke rutinitas seperti biasanya jadi mahasiswa semester akhir yang sibuk tak menentu. Pagi ke malam terasa cepat berlalu. Sampailah di sebuah sore yang cerah, “May, ada tamu”, kata temen kosku. Bergegas kuturuni tangga untuk melihat. Saya tertegun dengan mulut menganga, “Ya Allah apakah ini benar-benar dia?” jerit hatiku. Iya, ini dia dan abangnya. Dia benar-benar mengikuti nasihatku untuk ikut sekolah di pondok pesantren terpadu bersama abangnya. Singkat cerita, ia sudah kuanggap adikku, berbekal pendidikan dari pondok ke pondok, ia lulus menjadi mahasiswa di ITS Surabaya, pernah mendapat kesempatan berpetualang hingga ke negara kangguru. Sekarang ia sudah menjadi ASN di Calang, Kabupaten Aceh Jaya.
Andai saja dia tidak keluar dari zona nyamannya, dekat dengan ayah bunda, tentulah ia tidak semandiri sekarang. Aku bangga pernah membersamainya.
Itulah sepenggal pengalaman berharga yang pernah saya torehkan. Saya ingin terus menjadi penemu bakat-bakat terpendam berikutnya pada generasi Z di zaman milenial ini. Melalui masa penerjunan KSPL tanpa kendala yang berarti, mudah-mudahan ini menjadi pertanda bahwa misi ini akan berhasil. Target 100 sekolah akan bergabung melalui tangan dinginku, SPL Nasional dari Kabupaten Aceh Timur, aku yakin itu.