Tulalit….tulalit….tulalit…
Suara khas HP jadul saya diseberang kamar sebelah, membuat seisi rumah terbangun. Memangnya ini jam berapa, batinku memberontak. Dengan berat, kubukakan mata ini perlahan-lahan kulihat jam dinding putih dikamar istanaku ini.
Astaghfirullah, rupanya sudah jam 7 pagi. Ini kesekian kali diriku bangun kesiangan dalam minggu ini. Memang benar minggu ini merupakan minggu yang sangat melelahkan bagi diriku. Aktivitas padat menjadi gurunya guru dimasa pandemi menjadi tantangan tersendiri. Selain guru, siswapun harus tersentuh tangan dingin ini, pandemi telah merubah gaya belajar siswa dan guru. Siap tidak siap, pendidikan anak tidak boleh diabaikan begitu saja.
Ah, siapa ini yang menelpon dipagi buta. Dengan sempoyongan ku melangkah ke kamar anakku disebelah. Semalam tanpa sadar hape jadul tertinggal di kamar si bungsuku yang terus merengek minta dikawanin untuk tidur. Suaranya semakin ku mendekat semakin nyaring saja.
Sayup-sayup kudengar suara disebelah sana,
“Hallo, pak. Bapak coba cek WA. Tadi ada saya WA sebuah event. Kayaknya pas dengan Bapak,”
“Iya cut,” diriku menjawab singkat karena memang lagi malas berbicara. Mulut masih bau jengkol, badan pun khas manusia dipagi hari.
Cut Mirna Rita, memang siswaku dulu pada salah satu SMA pinggiran kotaku. Prestasi demi prestasi dia dapatkan dari dulu sampai sekarang dibangku perguruan tinggi. Anaknya sangat enerjik, selalu semangat untuk mencapai apa yang diinginkannya. Sebuah pesan yang selalu diingat, “tanyo bek male tacek langet. Menyoe ureung tuha tanyo gepegah bek cet langet. Bapak neupewajeb ureng droe neh untuk cet langet. (Kita jangan malu untuk bermimpi. Bila orang tua dulu mengatakan hati-hati untuk bermimpi karena jika tak kesampaian akan sakit dan putus asa. Bapak sebaliknya, mewajibkan kalian semua untuk bermimpi setinggi langit. Jadilah sang pemimpi). Itulah semangat yang selalu saya hembuskan kepada mereka, dalam komunitas penulis remaja di SMA dulunya. Makanya sampai sekarang pun jika ada event tertentu kami saling bertukar informasi.
Benar juga ini sebuah event yang menantang andrenalin dan sangat sesuai dengan aktivitas yang saya lakoni selama ini. Jiwaku separuhnya telah didekasikan untuk pendidikan di daerah tempat tinggalku yaitu Aceh Utara. Tak peduli kata orang, kami yakini apa yang kami lakukan akan indah pada masanya. Intinya satu, keiklasan berbuat. Suatu saat kita akan menuai hasilnya.
Oya pembaca, perkenalkan, Saya Qusthalani. Saat ini menjabat sebuat Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Aceh Utara. Sebuah amanah yang begitu berat, bagaimana tidak, selain mengajar, juga harus mau berbagi waktu dengan teman guru dalam peningkatan kompetensi diri. IGI dari awal berdiri fokus dengan literasi, karena founding father IGI percaya, dengan literasi maka pendidikan di Indonesia akan maju. Dengan literasi, anak-anak Indonesia bisa bersaing secara global. Dengan literasi juga kita akan berkarya untuk bangsa.
Selain menjadi ketua IGI, saya mengajar di sekolah kejuruan pada pelajaran yang mungkin tidak ada kaitannya dengan dunia tulis menulis. Saya saat ini mengajar fisika. Saya juga membentuk beberapa komunitas menulis seperti Komunitas penulis remaja, saya namai Komunitas Pena Pase. Juga ada komunitas menulis khusus guru, saya namai dengan Komunitas Cek Gu menulis Aceh Utara. Beberapa tahun belakangan ini saya juga dipercaya menjadi anggota satgas Literasi Dinas Pendidikan Aceh dan Wakil ketua tim Literasi Kabupaten Aceh Utara.
Jadi, ketika saya membuka sebuah WA dari siswa kebanggan saya itu. Langsung mata yang sedari tadi masih menahan kantuknya, terbuka bak ditolak kayu penyangga. Sebuah tawaran menjadi sosialitator penggerak literasi nasional (SPLN). Sekilas saya membaca informasi yang tertulis disana, melalui program ini, GMB-Indonesia akan memilih 100 pegiat literasi untuk dilatih dan dikembangkan hingga mampu secara profesional mensosialisasikan program-program literasi GMB-Indonesia sekaligus membangun kolaborasi dengan ribuan sekolah di Indonesia. Program literasi yang akan dikampanyekan oleh 100 SPL Nasional adalah program Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional (GSMB). GMB yang kemudian namanya bermertamofosis menjadi Nyalanesia.
Setelah membaca bolak balik brosur yang ada pada web tersebut, saya langsung mencoba mendaftar, tidak harus menunggu deadline pendafaran di 30 April 2021. Saya yakini saja apa yang saya lakukan selama ini, akan mempermudah jika seandainya saya berada salah satu diantara 100 orang tersebut. Perlahan lahan saya pahami isian yang ada pada borang pendaftaran, saya isi dengan seksama tanpa terlewatkan sama sekali.
Hingga akhirnya jadwal pengumuman lolos administrasi pun keluar. Disana ada nama saya dari 1000 orang yang berhak mengikuti ujian. Dari daerah saya kabupaten Aceh Utara, selain saya ada juga Pak Saiful Bahri, kami memanggilnya Bang Popon. Beliau bukanlah orang asing bagi saya. Sebagai kabid Perpustakaan di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Aceh Utara, kami sudah sering berkerjasama dalam program literasi. Bang Popon punya tekad yang sangat kuat, literasi tidak hanya dinikmati di daerah perkotaan saja. Tapi anak desa, di ujung gunung pun harus menikmati fasilitas ini. Oleh karena itu tidak heran sebelum pandemi, beliau berani menorobos desa yang transportasi saja susah, tidak lain tidak bukan hanya untuk mengantarkan bahan bacaan ke anak-anak desa terpencil di Aceh Utara.
Setelah melewati tes yang begitu melelahkan. Mulai dari membaca kembali teori-teori yang ada tentang literasi, memahami apa itu SPLN, dan juga sedikit teori tentang Gerakan Menulis Buku Nasional. Ditambah lagi jaringan internet di rumah hidup segan mati tak mau. Berjuang dengan soal tes, juga harus berjuang dengan mencari sinyal internet sampai harus memanjat pagar rumah tetangga.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Dalam kesusahan akan datang kemenangan. Inilah prinsip saya pegang teguh. Sesusah apapun harus berani memberikan yang terbaik. Benar saja, dihari yang sangat cerah, ayam-ayam pun berlarian kegirangan didepan rumah ku. Tak peduli dengan anak-anak yang sedari tadi asyik bermain di depan rumah kami yang sederhana ini. Seperti biasa, sore menjelang magrib saya sering nongkrong di teras sambil sekedar minum segelas kopi dan dua potong gorengan. Menatap hape pintar yang setia mendampingi pertualangan saya selama ini. Sebuah tulisan yang membuat hati ini begitu girang,
“Pak, selamat ya. Bapak memang pantas menjadi bagian dari KSPL,” sebuah pesan WA dari siswaku tadi
What…?
Tugas baru lagi ini, batinku. Tapi walau bagaimanapun ini adalah sebuah perjalan panjang namun belum berakhir. Terpilih menjadi bagian dari 500 penggerak literasi di daerah ini saja saya sangat bersyukur. Nyalanesia memang memiliki strategi yang jitu dalam menggerakkan literasi seantero negeri. Sealain misi literasi, juga peningkatan kesejahteraan bagi relawannya.
Para KSPL 500 orang ini diberikan tugas penerjunan alias magang, membuktikan diri pantas menjadi sosialitator penggerak literasi (SPL). Semuanya harus mampu mensosialisasikan program GSMB Nasional, melalukan kolaborasi dengan berbagai stakeholder dan mampu mendampingi sekolah yang bersedia mengikuti program terebut. Pastinya semua KSPL dibekali dulu sebelum mulai penerjunan.
Satu dua hari selesai pembekalan, diri ini masih bingung melalukan apa. Walaupun secara pengalaman sudahlah sangat sering berkolaborasi dan menyampaikan sebuah program terkait pendidikan ke khalayak ramai. Tapi ini sedikit berbeda, butuh perhatian khusus. Namun, bukan qusthalani namanya jika kehilangan akal sampai disini. Saya ambil kertas di meja kerja, saya coret rencana yang akan saya lakukan.
Pertama saya coba menyampaikan tujuan saya kesemua kepala sekolah yang saya kenal melalui pesan WA. Tak semua merespon, malah ada yang nyeleneh membalas, “nyo pu literasi, pu terasi” (literasi ini apa sama dengan terasi). Emang gue pikiran, hatiku menjawab. Anjing menggonggong, sosialisasi jalan trus bro. Kepala Sekolah yang merespon positif aku samperin sampai ke sekolahnya. Namun, lagi-lagi tidak semua mau menerima diri ini kesana. Berhubung kondisi sedang pandemi, banyak sekolah tingkat atas belajar secara daring.
Otak ini terus mencari ide dan memutar rencana yang sudah rapi saya susun kemarin. Sampailah saya ke Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Aceh Utara untuk meminta restu. Di sini saya disambut dengan baik, mereka siap memberikan dukungan dan mengarahkan sekolah dibawah binaannya untuk menerima dan jika sesuai silakan bergabung dengan GMBN dalam program literasi nasional
Penerjunan tidak berlangsung lama, dalam kondisi sulit sekolah libur, medan tempur daerah pun memicu jantung ini, semua harus diselesaikan. Sebelum tanggal 20 Juni 2021, saya mendapatkan dukungan yang luar biasa dari dua sekolah yang bersedia bergabung dengan kita. Sekolah ini memang bukan sekolah unggulan, tetapi sudah dua tahun terakhir sekolah ini menjalankan program literasi. Tidak salah saya menawarkan program ini ke sekolah tersebut.
Saya yakin dan percaya, walaupun dalam hati saya berkata tidak harus menjadi bagian dari 100 orang SPL nantinya kita berjuang untuk menggeliatkan literasi. Kapanpun dan dimanapun, literasi ini harus menjadi budaya di daerah tersebut. Ikhlas berbagi dan bergerak bersama ini akhirnya mengantarkan saya menjadi bagian dari penggerak literasi nasional tersebut. Tugas baru, amanah baru ini harus saya jalankan dengan semaksimal mungkin. Demi literasi di Nanggroeku, Provinsi Aceh Darussalam.