Literasi, kata tersebut Kembali membumi di tanah pertiwi beberapa tahun belakangan ini. Setelah digaungkannya program GLN (Gerakan Literasi Nasional) oleh kementerian Pendidikan, kebudyaan Riset dan Teknologi. Saya berpikir program tersebut merupakan jawaban solusi dari pemerintah di tengah rendahnya minat keterampilan berbahasa masyarakat Indonesia, terutama membaca dan menulis. Bagaimana tidak, dalam program For International student assessment (PISA) pada tahun 2012 skor membaca Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 negara. Fakta tersebut cukup membuktikan bagaimana rendahnya salah satu dari empat keterampilan berbahasa masyarakat Indonesia. Saya sebagai masyarakat Indonesia dan sebagai seorang guru menjadi sangat terpukul, karena guru merupakan tim pelaksana yang berhubungan langsung dengan siswa juga masyarakat.
Saya adalah manusia yang digariskan oleh Allah SWT untuk bergerak dan berkecimbung di dunia Pendidikan. Terlahir dari keluarga sederhana dan jauh dari kata sempurna, membuat saya teguh hati untuk mengangkat keluarga, masyarakat dan tempat saya bekerja (sekolah) untuk bersama-sama meningkatkan kualitas hidup. Dan kunci dari semua itu adalah literasi. Berbicara literasi bukan hanya berbicara tentang kemampuan seseorang dalam membaca ataupun menulis, namun jauh dari itu semua, literasi adalah jembatan manusia untuk terus berproses, peka, dan terus berusaha untuk menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar. Dengan begitu, manusia akan mengetahui hakikatnya sebagai mahluk dengan proses Pendidikan sepanjang hayat. Dari hal tersebut, saya teguhkan hati untuk istiqomah berada di jalur Pendidikan. Segala hal yang saya ketahui perihal literasi saya aplikasikan di sekolah saya tercinta, SMK Negeri 1 Subang. Program-program literasi yang saya jalankan sesuai dengan mekanisme program dari pemerintah, dengan sedikit modifikasi. Fokus saya adalah keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Namun, minimnya apresiasi juga pengembangan kompetensi siswa dan guru khsusunya dalam bidang literasi pada akhirnya program tersebut berjalan monoton dan gaungnya hanya ramai di sekolah saya sendiri saja.
Nyalanesia dengan program GSMB-nya kini menjadi fenomenal di tempat saya. Ketika mempublikasikan program ini, kepada beberapa sekolah di tempat saya berada. Antusias yang luar biasa menjadi energi positif untuk terus dan tanpa lelah mensosialisaikan program ini. Jauh sebelum saya terjun ke lapangan, Allah SWT memberikan jalan melalui sahabat kolega di sekolah yang memperlihatkan program tersebut dari salah satu media sosial yaitu Instagram.
Setelah saya lihat, baca dan memahami program tersebut, saya ikut mendaftar sebagai peserta progam SPL. Tahap demi tahap saya lolos, sampai pada 500 besar KSPL, kami ditugaskan untuk terjun ke lapangan untuk mensoalisaikan progam GSMB (Gerakan Sekolah Menulis Buku). Atusias yang luar biasa dari seluruh peserta, karena saya tergabung di grup B, hampir setiap hari melihat postingan kandidat SPL memposting pergerakan mereka dalam mensosialisaikan program GSMB, membuat saya juga antusiasi untuk terus bergerak, walau dalam pelaksanaanya tidak sesuai dengan harapan saya karena pandemi Virus Corona membuat sosialisasi tidak sesuai keinginan. Namun Langkah saya tidak surut sampai di sana, program yang saya lakukan adalah mensosialisasikan dengan sistem Hybrid, yaitu mengkombinasikan antara sosialisasi daring (dalam jaringan) dengan luring (luar jaringan). Memanfaatkan grup whatapps, saya bergerilia menyampaikan program GSMB ini, banyak repson dan tanggapan dari penghuni grup tersebut. Dalam prosesnya, Saya membuat catatan sekolah-sekolah yang merepson pesan yang saya bagikan, kemudian menjalin komunikasi dan pada akhirnya menemui mereka di sekolah atau di tempat lain yang sudah di sepakati, tentunya dengan penerapkan protokol Kesehatan yang ketat guna mencegah penyebaran virus Corona, jadi strategi yang saya lakukan adalah dengan komunikasi terlebih dahulu dengan sekolah-sekolah melalui media sosial, kemudian secara langsung saya jelaskan Ketika bertemu/tatap muka langsung.
Hitam putih saya rasakan Ketika menjadi KSPL. Banyak yang antusias dengan program ini, banyak pula yang tidak merespon sama sekali. Dari satu grup ke grup yang lain, dari chat individu ke individu yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, bahkan pernah satu waktu , disepakati untuk bertemu namun sampai waktu yang direncanakan, yang bersangkutan tak hadir tanpa alasan yang jelas. Semua itu dilakukan tidak lain dan tidak bukan untuk membantu mencerdaskan dan mengembangan minat bakat siswa dan guru dalam bidang literasi, khususnya keterampilan menulis. Segala tantangan tersebut saya jadikan sebagai ladang ibadah. Bukan hanya hasil akhir yang saya kejar, tetapi juga proses, karena saya percaya proses tidak akan pernah menghianati hasil. Sebagai orang yang bergelut dalam dunia pendidikan, hanya dengan biaya Rp 50.000 mendapatkan fasilitas yang luar biasa, fasilitas yang segudang itu menjadi daya tarik program ini.
Selama saya mengikuti program ini, belum ada yang memberikan fasilitas sebanyak program GSMB. Bukan hanya itu, dari mulai saya mengikuti seleksi ini sampai akhir program, seluruh panitia bekerja sangat baik dan rapi dalam segala hal, administrasi yang lengkap, mentor yang baik, teknis kegiatan yang teratur menjadi kepuasan kepada kami sehingga sulit untuk berkata bahwa program ini tidak direkomendasikan. Termasuk segala bentuk kegiatan sangat di hargai. Begitulah kiranya cerita perjalanan saya Ketika mejadi KSPL. Cerita tersebut akan menjadi kenangan yang tak terlupakan, dan NYALANESIA akan terus menjadi bagian kenangan yang luar biasa dalam pengembangan kompetensi hidup saya, terutama dalam bidang Literasi. Semangat
#NYALAKANMASADEPAN