Cerita Dibalik Pandemi - Penggerak Literasi

Cerita Dibalik Pandemi

Masa pandemi di tahun lalu tepatnya, 2020-2021 cukup memberikan dampak dan efek yang cukup signifikan di kehidupan lapisan masyarakat khususnya di Indonesia. Sebelumnya kita tidak begitu peduli kebersihan diri dan sekitar, tidak khawatir berkumpul dan berdekatan dengan orang lain, karena kita hanya tahu penyakit yang disebarkan oleh virus dan bakteri hanya pilek, batuk, diare yang dirasa ringan dan obatnya dijual bebas. Masker, Face Shield juga belum populer.

Kita mulai menganggapnya serius karena propaganda yang disebarkan secara luas oleh media, Serta sanksi hukum yang dikeluarkan pemerintah membuat masyarakat banting setir mengubah kebiasaan gaya hidup selama ini. Terutama pedagang, terkena dampak akibat dijalankanya aturan “Di rumah saja”.

Pemerintah menerapkan protokoler kesehatan Jaga Jarak (Social Distancing) yang salah satunya adalah aturan ‘Di Rumah saja’. Bahkan kantor dan sekolah diliburkan, sehingga semuanya dilakukan secara Online. Mulai dari Meeting Virtual memakai platform baik itu Whats Up Group, Meet by Google, Team dan aplikasi paling populer dan banyak pengguna yaitu Zoom. Belanja online juga semakin populer salah satunya S***ee dan G* F**d.

Di tahun 2022 ini, penulis sedikit kaget dan tidak menyangka, ternyata pandemi sudah berakhir. Masyarakat turut bahagia karena keadaan kembali normal. Walaupun kembali normal, kebiasaan baik itu tentu harus tetap dilestarikan. Seperti penulis yang semakin gemar memakai masker, mencuci tangan dan membawa hand sanitizer. Tentu saja tangan perlu dijaga kebersihanya, masker juga sangat berguna menyaring udara dari partikel kecil seperti debu bahkan virus, tidak jarang juga menyaring bau. Harganya juga murah, jadi tidak ragu memakai sekali pakai, setiap hari.

Pertemuan daring di Public Sphere juga perlu dilestarikan, karena menghemat uang dan waktu. Contohnya seminar Nasional tidak perlu lagi berkumpul di suatu Aula, tinggal duduk, melalui Zoom. Ini sangat ajaib, mengingat teknologi itu terus berkembang dan berinovasi. Tidak pernah berhenti dan merasa cukup, selalu ada perbaikan dan pembaharuan. Hidup kita juga harusnya seperti itu, tidak berhenti di zona nyaman.

Masyarakat semakin cerdas dengan digital, beragam informasi dapat di akses melalui gawai. Sayangnya kemajuan teknologi itu kerap kali “mubazzir”, penggunaan tidak dilakukan se-efisien mungkin untuk hal – hal bermanfaat dan menambah wawasan. Tetapi lebih banyak dipakai untuk berselancar mencari hal-hal yang menimbulkan kesenangan (keinginan), bukan hal-hal yang menjadi kebutuhan, fungsi Essential teknologi tersebut, yaitu Komunikasi, Interaksi dan Informasi. Hiburan bukanlah yang utama.

Hal itu juga yang penulis saksikan di lapangan, terutama kalangan anak – anak dan pelajar. Sebagai tenaga Administrasi di salah satu sekolah negeri. Walaupun tenaga administrasi, penulis juga sering mengajar ke kelas menggantikan guru yang tidak masuk. Disana penulis melihat bagaimana siswa begitu adiksi terhadap gawai, jangankan menulis, membaca buku saja mereka tidak mau dan tidak sempat, karena waktu kebanyakan dengan Handphone dan bermain.

Mereka aktif mengikuti apa yang mereka anggap keren dan apa yang Sosial Media propagandakan sebagai booming atau viral. Mereka mengikuti trend tanpa adanya penyaringan informasi. Sekolah hanya sebatas pertemuan formal saja, yang paling utama untuk membimbing seharusnya keluarga terutama orang tua. Tetapi orang tua juga tidak mengerti, dan lebih fokus kesibukan masing – masing. Sehingga penulis berpikir, perlunya ada sesuatu event atau program sekolah yang membuat siswa tidak jenuh dan menjadi semangat sekolah bahkan belajar.

Pada saat penulis scrolling group WA sekolah, ada salah seorang guru share informasi mengenai rekrutement SPL Nasional GSMB dari Nyalanesia. Saya coba daftar dan mengikuti seminar nasionalnya. Selanjutnya mengirim video diri. Ternyata saya terpilih menjadi salah satu SPL, saya cek ada 2 orang lagi yang lulus di daerah saya. Saya diberi Surat penerjunan, saya baca dan pelajari Juknis dan panduanya, ternyata tugasnya cukup berat. Saya pertimbangkan dan saya memutuskan menerima tantangan ini, saya permisi ke sekolah karena ini akan mengganggu jadwal kerja saya yang masuk setiap hari kecuali hari libur.

Sekolah pertama yang saya sambangi adalah MAN di daerah Panyabungan, Sumatera Utara dimana respons nya cukup baik, Cuma mereka terkendala di dana, apalagi harus memungut dari siswa, itu hal yang cukup sulit, karena sebahagian siswa dari kalangan kurang mampu. Saya lanjut ke sekolah sebelahnya dan respos nya sama. Saya sempat kembali ke sekolah daerah itu untuk meminta Tanda tangan dan Stempel sekolah, Alhamdulillah semuanya lancar.

Dari semua sekolah yang penulis sambagi, hampir 20 sekolah, semua terkendala jika mengenai dana atau biaya. Karena daerah pedesaan sebagian besar kurang mampu, dan mindset nya mengenai literasi sepele bahkan tidak mengenal yang namanya literasi. Tenggelam dalam kesibukan pemenuhan kebutuhan finansial yang susah. Tapi penulis tidak masalah, setidaknya penulis sudah menyampaikan dengan mendetail, dan mereka hikmat mendengarnya.

Tidak jarang juga penulis disangka Wartawan atau LSM, sehingga dipersulit dalam hal birokrasi terutama bertemu Kepala sekolah. Tapi penulis maklum, setelah dilakukan pendekatan, penulis berhasil menyampaikan pesan literasi dan mendapatkan Tanda tangan dan Stempel sekolah. Di sini, para guru tidak mengenal dan pertama mendengar, GSMB dan Nyalanesia, mungkin promosinya belum penetrasi ke pelosok negeri, atau guru yang kurang aktif menjelajah informasi. Sehingga saya juga harus perkenalkan dari dasar.

Yang paling berkesan menurut penulis adalah sekolah yang tertarik dan melek literasi. Mau meningkatkan mutu sekolahnya. Salah satunya MAN 2 Model Padang Sidimpuan, sekolah ini adalah sekolah Unggulan dengan tes masuk yang cukup ketat. Humas sekolah ini pak Husein juga sudah mendaftar kan sekolah nya. Dan terlihat tertarik karena adanya output berupa karya, yang tentu menjadi Legasi atau Warisan, nama sekolah juga akan tercatat di Arsip Perpusnas RI dan dibaca orang banyak.

Sudah 2 Kabupaten di Sumatera Utara yang penulis selami, ratusan kilometer penulis tempuh, pahit manis, hujan terik, tidak membatasi penulis mengemban amanah membantu Sekolah-sekolah terutama daerah penulis memiliki akses untuk berkarya dan mencetak buku. Walaupun kadang disambut kurang ramah, penulis tetap tegar dan tahan banting.

Semoga normalisasi keadaan ini dapat membuat kita ke arah yang lebih baik, memetik pelajaran dari kesusahan di masa lalu, dijadikan sebagai cerminan supaya tidak terulang kembali. Memanfaatkan teknologi yang semakin canggih dengan bijak. Membimbing generasi ke depan menjadi manusia unggul, terutama guru – guru, karena menjadi punca utama membimbing generasi.

Tentang Penulis :

Nama saya Jon Fahmi Oskandar, bekerja sebagai Tenaga Administrasi di SMKN 1 Siabu, Sinonoan, Kec. Siabu, Kab. Mandailing Natal. Alamat di Desa Tolang, Kec. Sayur Matinggi, Kab. Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Ya, jaraknya 25 KM, biasanya memakan waktu 30 menit memakai motor. Kita tidak perlu menyalahkan situasi dan kondisi, yang kita perlukan adalah aksi, karena segala kesulitan akan jadi pengalaman. Salam Penyala.

Artikel Terkait