Kita mungkin pernah merenungkan atau membayangkan sekilas tentang bagaimana nasib masa depan di tangan anak-anak muda, yang sekarang kegemarannya sangat berbanding terbalik dengan pemuda-pemudi di Era sebelumnya. Postmoderisme akan menjadi tantangan juga secarik harapan bagi anak-anak muda yang proaktif terhadap perubahan zaman. Melalui digitalisasi yang bisa dinikmati dan dikonsumsi berbagai kalangan dan usia merupakan anugerah di zaman ini, meskipun demikian segudang kegelisahan juga turut mengiringi perkembangannya. Khususnya bagi para guru dan siswa-siswi yang terisolasi sewaktu pandemi, kita tahu bahwa segala proses aktivitas manusia terisolir secara masif di masa itu, selama kurang lebih 2 tahun. Bahkan proses pembelajaran dan proses asesmen siswa-siswi dipaksa harus dilakukan secara daring (dalam jaringan). Hal ini menuntut seorang guru untuk melek terhadap dunia digital dan menuntut siswa-siswi untuk memberdayakan dunia digital secara benar. Namun sayangnya, beberapa kita ketahui sumber daya manusia di Indonesia khususnya guru dan siswa belum siap terhadap dinamika tersebut.
Siswa lebih banyak menghabiskan sebagian waktu belajarnya untuk bermain game online, atau bahkan hanya dipergunakan untuk bermain TikTok, dan lainnya. Yang sebetulnya jika dilihat dari perspektif perkembangan teknologi mereka sudah mampu beradaptasi, hanya saja pada sisi sensitivity mereka kurang mampu mengimbangi. Akibat logisnya adalah mereka cenderung memprioritaskan media sosial sebagai guru (panutan) dan sebagai tempat belajar (wadah eksplorasi diri). Tentu ini menjadi hal yang baik jika sejalan dengan kepekaan mereka terhadap konten-konten positif, namun menjadi racun jika sebaliknya. Sebagai guru tentu saya menginginkan yang terbaik terhadap perkembangan siswa-siswi baik secara intelektualitas, moralitas, dan spiritualitas. Maka saya berfikir untuk menemukan formulasi yang antimainstream agar siswa-siswi tertarik untuk menggunakan digitalnya dengan baik. Kebetulan aktivitas di luar selain menjadi guru, saya juga senang dengan dunia literasi. Karena bagi saya, puncak tertinggi peradaban sebuah bangsa atau seseorang adalah mampu membangun perpustakaan di kepalanya.
Keresahan ini terjawab, ketika secara tidak sengaja saya mendapati flayer Nyalanesia di salah satu media sosial yang menawarkan untuk mengikuti Sosialisator Program Literasi (SPL) Nasional. Hal ini sontak membuat saya tertarik dan termotivasi untuk mengikuti program tersebut. Mengingat, problem yang telah saya sebutkan di atas juga membutuhkan problem solving yang tepat dan bermanfaat bagi saya dan juga siswa-siswi di sekolah. Dengan penuh harapan dan kesiapan saya mengikuti tahapan-tahapan seleksi calon kandidat Sosialisator Program Literasi (SPL) Nasional, berlanjut sampai pada tahap uji penerjunan.
Pada saat uji penerjunan ke 10 sekolah-sekolah terdekat disekitar lingkungan saya, ada beberapa sekolah yang saya kunjungi memberikan kesan menarik. Menarik diceritakan maupun menarik untuk tidak diceritakan.
Diantara yang menarik untuk diceritakan adalah ketika kunjungan saya ke sekolah MTs Tribakti, ketika itu secara emosional saya mempunyai teman karib yang mengajar di sekolah tersebut sehingga tidak begitu merumitkan bagi saya untuk bertemu dan berdialog dengan kepala sekolah dalam upaya mensosialisasikan program GSMB Nasional (Gerakan Sekolah Menulis Buku), selang beberapa menit kami berdiskusi tentang program-program yang ditawarkan Nyalanesia terutama program menulis buku dan sertifikasi, lalu program penerbitan buku menjadi bahasan kami yang cukup mesra. Sembari saya mengajukan untuk mengunduh Petunjuk Teknis (juknis) GSMB Nasional di laman terkait supaya dapat dipelajari dan dipahami oleh pihak sekolah. Kemudian setelah perbincangan saya dengan kepala sekolah di ruang kepala sekolah, beliau mempersilakan saya menemui Rifqiyatul Jannah, selaku guru kelas dan teman karib saya untuk mensosialisasikan program SPL dihadapkan siswa-siswi MTs Tribakti.
Singkatnya, siswa-siswi berkumpul di Aula sekolah dengan jumlah kurang lebih 35 siswa. Karena saya meminta kepada kepala sekolah untuk melibatkan sekurang-kurangnya siswa dari kelas 2-3 MTs. Di Aula saya berusaha mencoba berbicara sesuai kapasitas dan usia mereka, tentu lebih rumit daripada berbicara dengan kepala sekolah tadi, hanya mungkin karena saya humoris beberapa kali candaan sudah bisa menarik perhatian mereka. Lalu saya mensosialisasikan program Nyalanesia secara singkat dan mudah dimengerti. Hal yang paling dasar adalah saya mencoba menstimulasi siswa agar tertarik mengikuti program GSMB Nasional dengan membacakan puisi. Puisi yang saya bacakan adalah karangan saya sendiri yang berjudul “KURIR PERASAAN”, dalam salah satu potongan baitnya saya baca secara lantang di hadapan siswa-siswi MTs Tribakti: “tolong aktifkan hatimu, pengantar perasaan telah datang mengetuk-ngetuk pintu cintamu”. Sontak iringan tepukan dan ekspresi kemesraan mereka layangkan, saya pun bergembira bersama mereka.
Di akhir pembicaraan, terdapat 8 siswa-siswi sangat antusias dan tertarik untuk mengikuti program GSMB Nasional, berdasarkan cerita mereka, hobi siswa-siswi tersebut memang menulis dan membaca komik. Selang tak lama kemudian saya berpamit pada anak-anak siswa-siswi dan juga Rifqiyatul Jannah serta kepala sekolah untuk pulang karena bel jam pergantian pelajaran pun turut berdentang. Sekilas kisah menarik dari saya dalam masa-masa uji penerjunan KSPL.
Senafas dengan hal menarik yang saya lalui di atas, terdapat juga labirin persoalan dalam mesosialisasi program GSMB Nasional. Diantaranya, keterbatasan waktu efektif yang bisa disediakan oleh pihak sekolah kepada saya, juga koordinasi dengan pihak sekolah yang belum mempunyai guru koordinator di bidang literasi sekolah sehingga seperti harimau tanpa taring, selebihnya yang biasa saya temui adalah ketidaktertarikan sekolah-sekolah pada dunia literasi. Selain itu, poin penting bagi saya yaitu menanamkan pondasi cinta membaca, cinta literasi, dan cinta ilmu sedari dini, perlu juga disemarakkan kepada teman-teman kita, keluarga kita, murid-murid kita. Khususnya yang berprofesi sebagai pendidik seperti saya atau khalayak pada umumnya.
Kesan menjadi KSPL Nasional telah menumbuhkan semangat dan membakar motivasi saya sekurang-kurangnya pada dua aspek, aspek pendidik dan aspek pembelajar. Sebagai pendidik yang mengarahkan siswa untuk berjelajah pada sinar harapan masa depan dan disaat yang sama sebagai pembelajar dalam mensosialisasikan program-program GSMB Nasional sebab keterbatasan saya sebagai kandidat Sosialisator Program Literasi. Tentu program GSMB Nasional ini tidak hanya saya tawarkan pada siswa di sekolah tempat saya mengajar tetapi juga seluruh siswa yang ada di sekolah-sekolah lainnya yang saya jangkau selama masa uji penerjunan. Semoga saya lolos menjadi SPL Nasional dan melanjutkan penjelajahan ini ke lebih banyak sekolah lainnya.
Saya Mohammad Robith Al Hasany, S.Pd., M.Pd adalah salah satu guru di Madrasah Aliyah Mambaul Ulum Wonojati Jenggawah. Kesibukan saya selain mengajar juga aktif sebagai peneliti, penulis di berbagai jurnal ilmiah karena kegemaran saya di bidang saintifik dan literasi. Selain itu, saya juga aktivis kebudayaan di Kabupaten Jember. Teman-teman dapat menghubungi saya lewat akun Instagram @Moh Robith Alhasany untuk berdiskusi atau sekedar berbagi pengalaman. Salam Literasi!