Literasi pada prinsipnya merupakan sebuah media pewartaan. Sebagai media pewartaan, literasi menjadi instrumen penting dan mendesak untuk menyampaikan berbagai pesan positif, dengan tetap merunut pada konten literasi yang hendak disampaikan. Nyalanesia sebagai sebuah platform literasi, menyediakan berbagai program yang bisa diakses siapa saja, mulai dari para siswa, mahasiswa, guru dan dosen, pemerhati pendidikan, organisasi, komunitas dan professional dengan spesifikasi di bidangnya masing-masing.
Berbagai program yang disajikan Nyalanesia, dapat sampai kepada kelompok sasaran, apabila ada yang menjadi penyambung lidah Nyalanesia. Para penyambung lidah Nyalanesia tidak lain adalah para penggerak literasi yakni Sosialisastor Program Literasi (SPL) Nasional dan Penggerak Literasi Daerah (PLD). Para penggerak merupakan garda terdepan yang siap sedia menjalankan tugasnya, mewartakan program-program literasi dan pendidikan yang telah dikemas dan didesain Nyalanesia.
Program-program tersebut disosialisasikan kepada lembaga pendidikan, instansi, komunitas dan juga organisasi sambil memotivasi mereka untuk mengupgrade diri, agar semakin kompeten, prestatif dan berkontribusi bagi masa kini dan masa depan bangsa, melalui membukukan karya untuk menunjang peningkatan prestasi akademik personal, baik siswa maupun guru juga mengedukasi masyarakat luas untuk menjadi semakin literat.
Sebagai seorang guru yang mengasuh mata pelajaran pendidikan agama Katolik, saya merasa bangga bisa berada di jalan literasi ini. Setelah melanglang buana di beberapa wilayah di Indonesia seperti Papua, Malang, Jakarta, Sumatera dan kembali lagi ke Flores dan Lembata, saya akhirnya menemukan bahwa menjadi sosialisator merupakan sebuah jalan meniti literasi yang membebaskan pribadi maupun lembaga, yang telah sekian lama ketiadaan akses membukukan karya, entah siswa atau guru, tunggal atau bersama.
Melewati tahap demi tahap hingga resmi dilantik pada Rabu, 14 Juli 2021 sebagai salah satu SPL Nasional 2021 dari Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mendatangkan kebanggaan tersendiri. Saya bangga karena tugas mewartakan dalam spesifikasi saya sebagai guru agama, yang coba saya terapkan dalam kapasitas sebagai sosialisator cukup berhasil. Bagi saya, mewartakan pesan apa pun, termasuk literasi merupakan sebuah tugas panggilan. Maka, panggilan untuk mengkampanyekan literasi merupakan sebuah tugas yang mesti dilaksanakan dengan ikhlas tanpa paksaan, dijalankan dengan penuh keyakinan, kerja keras dan fokus, bukan sebagai beban.
Di titik ini, saya dapat melihat kualitas kerja dan mutu diri saya di bidang yang sedang saya geluti. Meski demikian, bukan nihil tantangan. Tantangan-tantangan yang saya jumpai bervariasi. Dari dalam kelompok misalnya, ada teman yang memandang tugas sosialisator sebagai beban sehingga kehilangan daya juang dan semangat untuk melaksanakan tugas mulia ini. Saya percaya bahwa dari sekian pintu yang hendak kita masuki, pasti ada pintu yang tertutup. Namun, saya tetap optimis bahwa ada banyak pintu yang terbuka untuk menerima program Nyalanesia khususnya GSMB Nasional. Tantangan lain adalah dikomplain oleh sesama teman yang merasa mekanisme kerja yang saya jalankan, menyalahi aturan yang ditetapkan.
Berhadapan dengan dua tantangan di atas, saya mengambil sikap sebagai berikut. Pertama, saya coba memberi motivasi kepada sesama penggerak yang merasa putus asa agar membangun komunikasi lebih intens dengan sekolah sasaran. Berhadapan dengan tantangan yang lainnya, saya hanya mengatakan, jika yang saya lakukan ini baik tetapi dianggap melanggar aturan, maka saya pun tidak membantah. Keputusan ada di tangan para mentor, tim SPL dan manajemen Nyalanesia. Pada prinsipnya apa yang saya lakukan tidak bermaksud mencederai regulasi atau aturan yang telah digariskan dari manajemen Nyalanesia khususnya SPL Nasional 2021.
Tantangan dari luar pun banyak. Misalnya, meyakinkan para kepala sekolah dan guru koordinator agar bisa mencari jalan keluar atas kesulitan mendapatkan finansial manakala keuangan BOS belum dicairkan pada waktu berhadapan dengan batas waktu pendaftaran yang makin singkat. Tantangan lain berupa ketidaksiapan guru menjadi koordinator. Selain itu, lambannya Bapak/Ibu guru dalam mengumpulkan karya untuk diedit agar dikirim sesuai deadline yang ditentukan.
Semua tantangan itu, coba saya hadapi dengan besar hati dan lapang dada. Saya percaya, saya tidak sendirian. Prinsipnya, komunikasi tetap saya bangun dengan siapa pun, di mana pun secara intens meski itu ditertawakan atau diabaikan. Saya pun tetap meyakinkan diri, agar berani menjadi sosialisator lintas batas. Artinya, jika di dalam wilayah kabupaten saya, belum ada respon positif dari sekolah-sekolah yang telah mendapatkan sosialisasi untuk mendaftar hingga melakukan pembayaran, maka saya harus segera bergerak keluar kabupaten dalam provinsi bahkan lintas provinsi.
Pertemuan dengan pak Andy F. Noya dan pak Bukik Setiawan dalam kesempatan Nyalatalks dan pelantikan SPL dan PLD, tidak hanya sebatas menggugah rasa sedih saya, sehingga ikut menangis bersama teman-eman penggerak, tetapi dari kisah dan pengalaman yang disampaikan menghadirkan sebuah pintu inspirasi baru, selain pintu inspirasi yang telah saya dapatkan dari mas Lenang Manggala. Bagi saya, Papua merupakan salah satu wilayah yang telah memberi banyak kesempatan bagi saya untuk bisa mengembangkan potensi saya di bidang marketing literasi.
Ternyata saya tidak sendirian. Pak Andy Noya dan pak Bukik telah menguatkan apa yang telah saya alami dan lakukan. Seperti kata pak Andy Noya, nama kita hendaknya menjadi brand kita.”Jikalau kita menjaga nama baik kita, maka secara tidak langsung, kita sedang menjaga brand kita,” ujarnya dalam kesempatan nyalatalk. Saya semakin yakin bahwa nama yang oleh orang Latin menyebutnya nomen est omen yang artinya nama adalah tanda, hendaknya menjadi penanda yang positif bagi perjalanan karir saya. Hal itu saya tunjukkan dalam kapasitas saya sebagai sosialisator.
Saya juga mengamini apa yang dikatakan pak Andy Noya bahwa tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi jembatan, yang oleh Tuhan diberi kesempatan untuk berbuat baik. Di titik ini, saya menyadari bahwa diri saya sesungguhnya telah menjadi jembatan emas yang menghubungkan Nyalanesia-GSMB Nasional dengan sekolah-sekolah juga instansi terkait. Saya semakin memahami bahwa menjadi sosialisator berarti membuka diri dilatih, ditempah dan dididik untuk menjadi semakin terdidik, agar nantinya mendidik orang lain. Di sini, sosialisator bukan sekedar tugas melainkan medan untuk mengaktualisasikan segala potensi, seperti kecerdasan sosial, emosional dan juga inteligensia yang saya miliki.
Selain pak Andy Noya, saya juga terinspirasi dengan pak Bukik yang mengajak saya dan para penggerak lainnya untuk berpikir dan bertindak gila. Gila dalam konotasi yang baik artinya melakukan apa yang tidak lazim, bukan standar atau hanya untuk memenuhi syarat. Maka, untuk berpikir gila tentu saya tidak hanya berkutat dengan diri saya sendiri, melainkan selalu terbuka membangun dialog dengan teman-teman penggerak, juga berbagi degan para mentor hebat.
Pengalaman diabaikan, ditertawakan, dikritik dan akhirnya diterima telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri saya. Saya merangkul semua sebagai bagian integral dari diri saya. Inilah kekayaan yang membentuk mental dan kepribadian saya. Saya berharap agar lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi memiliki mental terjajah. Sudah saatnya keluar dari belenggu zona nyaman untuk menikmati suasana merdeka belajar, merdeka dalam mengembangkan literasi sekolah. Hilangkan segala belenggu yang menghalangi kehadiran Nyalanesia-GSMB Nasional di sekolah-sekolah kita.
Saya hanya berharap, Indonesia bisa keluar dari situasi pandemi yang kian mencekam ini, agar kreativitas siswa dan guru dalam menulis karya apa saja mendapatkan ruangnya. Semoga situasi setelah PPKM ini, semakin membaik agar sekolah kembali melakukan pembelajaran tatap muka. Dengan demikian, Nyalanesia-GSMB Nasional, kembali mendapat tempat dan waktu untuk bisa hadir kembali di sekolah-sekolah. Saya berharap, sekolah lebih peka merespon program GSMB Nasional. Mari, wartakan literasi, bangun sinergi lintas batas. (*)