Program Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional sudah saya kenal tahun 2019 melalui media sosial. Perkenalan itu membawa saya bergabung lewat program menulis buku. Saya mengirimkan naskah buku tunggal untuk dicetak. “Pendidikan karakter melalui Budaya Religius” menjadi buku pertama saya yang dicetak oleh Nyalanesia.
Tahun 2020 kembali saya melibatkan diri dengan GSMB Nasional. Kali ini saya mendaftar menjadi Kandidat Sosialitator Program Literasi Nasional, tetapi saya tidak meneruskan program itu. Selain karena kesibukan melaksanakan tugas sebagai guru dan tugas tambahan sebagai wakasek kurikulum juga saya tidak percaya diri untuk mensosialisasikan program ke sekolah-sekolah karena salah satu persyaratan yang menurut saya agak memberatkan adakah biaya pendaftaran. Demikianlah pemikiran saya saat itu.
Bulan mei 2021 di beranda Facebook saya, program Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional melintas dan menarik saya untuk berhenti sejenak menelusuri laman GSMB Nasional yang telah berubah nama menjadi Nyalanesia. Saya membaca poin-poin besarnya. Ada begitu banyak program yang sangat menarik. Fasilitas-fasilitas yang fantastis didapat oleh sekolah yang seharusnya menjadi daya tarik bagi sekolah yang semuanya bermuara pada pengembangan literasi sekolah. Semangat saya kembali menguat dan hal itu memacu saya untuk menjadi bagian dari pelaku literasi dengan mendaftarkan diri sebagai Kandidat Sosialitator Program Literasi Nasional tahun 2021.
Setelah pendaftaran selesai, saya teringat sahabat baik saya yang juga sangat suka dengan program literasi. Ibu Fadlun Saleh, M.Pd. Beliau Kepala sekolah di salah satu sekolah SMA di Gorontalo. Lewat WhatsApp saya kirimkan tautan pendaftaran serta program SPL Nasional dari Nyalanesia kemudian saya susul dengan telepon untuk meyakinkannya dan prediksi saya tidak salah, Ibu Fadlun pun ikut mendaftar. Tentu saja saya sangat gembira.
Saya tidak tahu berapa orang yang mendaftar di seluruh Indonesia, tetapi saya sangat gembira ketika nama saya tercantum di 1.000 KSPL Nasional bersama 6 kandidat dari Provinsi Gorontalo. Masih ada dua tahapan lagi yaitu seleksi dari 1.000 disaring menjadi 500 kandidat dan terakhir hanya akan diambil 100 orang yang akan menjadi Sosialitator Program Literasi Nasional.
Tahapan kedua bagi saya tidak terlalu sulit karena saya sudah membaca materi yang akan diujikan. Dengan penuh kepercayaan diri saya mengisi dan yakin akan lolos ke 500 kandidat dan itu terbukti. Saya lolos. Untuk menjadi 100 SPL Nasional saya harus uji terjun lapangan untuk mensosialisasikan program.
Perjuangan baru dimulai. Saya meyakinkan diri bisa, meskipun tidak saya pungkiri ada keragu-raguan melanda hati. Mampukah saya? Bagaimana memulainya? Untunglah saya memiliki Ibu Fadlun, teman seperjuangan yang juga lolos ke SPL juga Mbak Gemini, mentor yang sangat baik dan sabar dalam memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada saya untuk terus melakukan. Berbekal pengetahuan dan Zoom Meeting dengan para punggawa Nyalanesia tentang program GSMB Nasional, saya melangkah dengan niat untuk anak-anak bangsa yang telah tertidur karena pandemi Covid-19.
Uji terjun lapangan yang hanya 2 minggu rasanya tidak mencukupi. Seminggu setelah pengumuman lolos 500 kandidat Sosialisator, barulah saya bergerak, karena kesibukan tupoksi yang tidak bisa ditunda juga menunggu surat rekomendasi dari Dinas Dikbudpora Provinsi Gorontalo sebagai pendukung untuk melakukan sosialisasi, karena ada beberapa kepala sekolah meminta surat rekomendasi kegiatan.
Rasa was-was sempat melanda saya. Cukupkah waktu yang tinggal seminggu ini? Ditambah lagi pandemi Covid-19 yang menghalangi kebebasan bergerak. Namun dengan menguatkan hati saya melangkah, menghubungi kepala sekolah, teman guru yang saya kenal dengan pendekatan personal agar saya bisa diterima untuk mensosialisaikan program GSMB Nasional.
Ada hal yang menguntungkan saya dalam menjalankan program ini. Tempat tinggal dan tempat tugas di tempat berbeda membuat saya memiliki jangkauan lebih luas untuk memilih sekolah di kedua daerah tersebut, yaitu Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Boalemo.
Sosialisasi pertama program GSMB Nasional ini saya lakukan di sekolah lama saya, SMA Negeri 1 Boliyohuto. Kepala sekolah yang Bapak Irwan Potale, M.Pd. menyambut baik program ini setelah terlebih dahulu saya menyampaikan program kepada teman terbaik saya Lusiani Luluk, M.Pd. yang juga menjabat sebagai Wakasek Kurikulum menggantikan saya pasca saya pindah tempat tugas. Penerimaan mereka terhadap saya menjadi semangat untuk melanjutkan rencana. Satu sekolah mendaftar membakar semangat saya untuk terus melangkah.
Minggu kedua dari tenggang waktu yang diberikan saya gunakan dengan sebaik-baiknya. Berburu dengan waktu dan tuntutan pekerjaan membuat saya harus segera bertindak. Lewat WhatsApp saya menghubungi kepala sekolah yang saya kenal dan membuat janji untuk bertemu. Semua sekolah yang saya datangi dan hubungi lewat What Shapp menerima sangat baik program GSMB Nasional ini. Menurut mereka program ini sangat menunjang program sekolah yaitu pengembangan literasi.
Tantangan terberat saya adalah waktu yang sangat mepet, karena sekolah yang saya datanagi sangat jauh dari tempat tinggal dan tempat tugas. Tantangan lainnya yaitu meyakinkan sekolah untuk mendaftar dalam waktu yang sangat dekat dengan batas pendaftaran. Setelah pertemuan secara tatap muka dan di susul dengan follow up kepada sekolah yang sudah menerima sosailaisasi tentang GSMB Nasional sebagai upaya untuk menjaring sekolah agar bergabung dalam program yang sangat bagus ini. Meskipun hasil yang saya terima todak seperti harapan saya. Sekolah dengan jumlah peserta didik yang banyak tidak menjadi jaminan mereka mendaftar. Diperlukan pimpinan yang benar-benar literat serta berani mengambil keputusan dengan segala konsekuensinya.
Ada 10 sekolah yang sempat saya datangi dan 5 sekolah yang saya sosialisaikan program lewat WhatsApp, tetapi yang mendaftar hanya 2 sekolah. Alasan paling utama selain biaya pendaftaran dan waktu yang singkat untuk mendaftar juga sulit untuk mengumpulkan siswa. Masa libur sekolah dan pandemik Covid-19 membuat mereka berdiam diri di rumah. Ditambah lagi bulan mei sampai Juli menjadi bulan yang sibuk bagi sekolah. Dipenghujung bulan Juni peserta didik libur dan para guru dituntut dengan rutinitas tahunan yaitu ulangan akhir semester, penerimaan siswa baru dan persiapan pembelajaran di awal tahun pelajaran baru. Berkenaan dengan biaya pendaftaran, sekolah kesulitan mencari sumber dana, karena anggaran di sekolah sudah tersusun dari awal tahun anggaran. Hal ini kemudian menjadi masukan saya kepada Nyalanesia untuk perbaikan program ke depan.
Pengalaman terjun lapangan membuka mata hati saya, bahwa perlu banyak lagi pihak yang harus dibakar semangatnya menyalakan literasi, sehingga literasi ini tidak sekadar menjadi hiasan dalam program sekolah, tetapi nyata untuk pengembangan peserta didik dalam menghasilkan karya., sehingga alasan-alasan yang seperti saya tuliskan bukanlagi menjadi penghalang dalam berkarya.
Lembaga pendidikan menjadi wadah yang tepat untuk anak bisa mengembangkan dirinya maka seyogyanya sekolah dapat memfasilitasinya. Minat dan bakat yang peserta didik perlu ditumbuhkembangkan untuk bekal mereka menghadapi dunia nyata. Pandemi Covid-19 bukanlah menjadi penghalang dalam berkarya.
Nyalanesia hadir sebagai bagian dari pelaku nyata pengembangan dunia literasi, bukan hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi pendidik dan kepala sekolah. Kalau bukan kita siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? Perubahan memang tidak bisa terjadi semudah membalikkan telapak tangan.
Terakhir, Saya menyampaikan terima kasih kepada Nyalanesia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi bagian dalam mengembangkan literasi. Semoga semangat ini tidak berhenti ketika program selesai. Salam Literasi.