Bapak/Ibu tidak sendiri saat menangis mendengarkan cerita Andy Noya tentang Ibu Ana. Kisah seorang guru yang menemukan bakat seorang Andy Noya semasa duduk di bangku kelas empat SD itu, memang penuh haru. Bayangan akan jasa-jasa guru muncul di kepala kita. Memori-memori interaksi di kelas terputar kembali. Guru-guru yang tadinya mungkin sesak akan rasa kurang berharga dan tidak dihargai, seperti mendapatkan udara segar setelah mendengar cerita ini.
Kami menjadi tersadar, menjadi guru sudahlah berat. Menjadi insan pendidikan tidaklah mudah. Tak boleh marah, tak boleh cemberut. Di hadapan puluhan murid-murid, guru harus menjadi yang paling semangat dan berbahagia. Belum lagi, di meja sudah menunggu pekerjaan administratif yang menumpuk.
Hingga ketika pendaftaran Sosialisator Program Literasi Nasional dan Penggerak Literasi Daerah dibuka, kami tidak menyangka, ternyata banyak sekali insan pendidikan yang mendaftar. Sangat banyak. Jika merefleksikan kembali momen itu, ketakjuban kami tidak pernah habis.
Nantinya, bagaimana cara Bapak/Ibu membagi waktu dan energi?
Tapi Bapak/Ibu ternyata berhasil meyakinkan diri sendiri dan tentunya kami. Dengan semangat menyebarkan literasi, Bapak/Ibu terjaga siang dan malam untuk melakukan sosialisasi. Entah sudah berapa kilometer jalan yang Bapak/Ibu tempuh. Entah sudah berapa ongkos yang Bapak/Ibu ikhlaskan. Betapa kewalahannya mentor kami membalas pesan-pesan yang masuk dari Bapak/Ibu adalah wujud betapa tingginya semangat Bapak/Ibu untuk menggerakkan literasi.
Di tengah tantangan menjadi Penggerak Literasi dan insan pendidik, lelah dan rasa ingin menyerah tentu bukan godaan yang mudah. Mungkin sudah tak terhitung berapa kali godaan itu datang dan menjadi pertimbangan. Ditolak dan ditertawakan tentu bukan hal yang mudah diterima begitu saja. Pengalaman itu menciptakan pergolakan batin yang luar biasa, tapi anehnya Bapak/Ibu tak pernah melangkah mundur. Pengalaman “pahit” itu justru menjadi bara untuk jiwa dan raga.
Ternyata banyak sosok Ibu Ana di sekitar kita. Jika Ibu Ana tak pernah putus asa mendorong seorang Andy Noya untuk masuk sekolah, mengikuti kompetisi, dan percaya pada dirinya sendiri, ada pula Bapak/Ibu, para penggerak literasi yang tak pernah putus asa mengajak guru-guru dan siswa-siswi di Indonesia untuk berani menulis dan memahami pentingnya literasi.
Andy Noya selalu menangis ketika menceritakan betapa berpengaruhnya kehadiran Ibu Ana dalam hidupnya. Bahkan hingga 40 tahun lebih, adegan demi adegan pertemuan dirinya dengan Ibu Ana terekam dengan baik dalam hati dan pikiran seorang Andy Noya. “Kamu itu anak pandai, Andy. Kamu punya talenta dalam menulis. Kalau kamu kembangkan suatu hari kamu bisa jadi wartawan.” Kalimat itu bak mantra. Keyakinan Ibu Ana “menyelamatkan” Andy Noya.
Ibu Ana adalah pelita bagi seorang siswa kelas 4 SD berambut ikal dan berpostur Belanda bernama Andy Noya. Dan Bapak/Ibu adalah pelita yang membuka jalan ribuan anak-anak di pelosok Indonesia untuk menulis buku dan mencintai literasi sejak dini.
Terima kasih. Terima kasih. Terima kasih.
Tetaplah menyala, menjadi pelita untuk Indonesia.
Selamat menyebarkan semangat literasi kepada lebih banyak guru dan siswa Indonesia.