Saya sadar, mengkampanyekan gerakan menulis butuh perjuangan yang tidak main-main. Apalagi dengan data-data yang berseliweran tentang rendahnya minat membaca dan menulis masyarakat Indonesia. Dibayangi pula dengan anggapan negatif, “jangankan yang berbayar, yang gratis saja tidak ada yang mau.” Kalau tidak punya daya juang pasti akan mundur dan berakhir putus asa.
Begitulah kira-kira perasaan saya ketika ditetapkan sebagai Kandidat Sosialisator Program Literasi (KSPL) Nasional. Namun, saya teringat sebuah lagu yang dinyanyikan artis Jepang, Angela Aki berjudul Tegami. Terdapat untaian lirik, “ima makenaide nakanaide kietesimai souna toki wa, jibun no koe wo sinjite arukeba ii no,” artinya jangan menyerah, percayalah akan kata hatimu dan teruslah berlangkah.
Saya mencoba memaknai, bahwa apa yang dimaksudkan Angela adalah walau perjalanan menggapai harapan dipenuhi jalan berliku, tetap fokus pada tujuan dan jangan berhenti berjalan.
Senin, 7 Juni 2021, adalah hari pertama saya melakukan sosialisasi program Gerakan Sekolah Menulis Buku Nasional (GSMB Nasional). Awal mulanya, saya melaporkan diri sebagai KSPL kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang. Selain itu, saya turut menjelaskan isi dalam GSMB sembari berusaha meyakinkan bahwa program tersebut akan memberikan dampak positif bagi sekolah.
Bak dayung bersambut. Saya mendapatkan rekomendasi dan akan difasilitasi memberikan sosialisasi kepada para kepala sekolah jenjang SD dan SMP se-Kota Kupang. Senyum saya langsung terbuka lebar menyambut kabar baik dari Bapak Kepala Dinas. Pikiran saya pun ikut melayang, sebagai seorang guru, terselip kebanggaan tersendiri pada saat nanti membawakan materi di hadapan para kepala sekolah.
Saya mulai mempersiapkan diri dengan membaca petunjuk teknis pada buku panduan, membuat beberapa catatan penting termasuk mempersiapkan materi menggunakan microsoft power point. Semuanya saya lakukan dengan gembira. Ada hal yang menjadi pelecut semangat, jika saya mampu mensosialisasikan program GSMB dengan baik, tentu akan menarik minat para Kepala Sekolah mendaftarkan lembaganya.
Tibalah hari yang dinanti. Senin, 14 Juni 2021, pukul 10.00 WITA, saya bergegas menuju Aula Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Kupang. Di sana sudah ada Kepala Dinas bersama puluhan Kepala Sekolah jenjang SMP. Kala itu sedang berlangsung rapat membahas persiapan penerimaan peserta didik baru dan persiapan pembelajaran tatap muka untuk tahun pelajaran yang baru.
Seorang pegawai datang menghampiri, mengatakan bahwa sebentar lagi rapat akan usai dan dilanjutkan dengan sosialisasi program GSMB. Debaran jantung saya sudah sulit terkontrol apalagi ketika melihat Kepala Sekolah di tempat saya mengabdi, duduknya tepat paling depan. Tidak lama kemudian, nama saya dipanggil.
“Bapak ibu, selanjutnya ada informasi tentang GSMB. Harap dicermati dengan baik. Untuk itu, kami undang pak Agung ke depan,” kata Kepala Dinas, yang kemudian berdiri seraya melangkah meninggalkan ruangan.
Sambil mengasah kepercayaan diri, saya melangkah maju. Sebagian besar Kepala Sekolah membelokkan kepalanya ke belakang menyambut kehadiran saya. Tepat di tengah-tengah mereka, saya dan Kepala Dinas berpapasan.
“Silahkan pak Agung, semoga sukses,” kata Kepala Dinas dalam balutan senyum yang menyemangati.
Sementara itu di mimbar depan telah menunggu salah satu pejabat. Saya senang karena ada perwakilan dari dinas pendidikan yang akan mendampingi. Menurut saya, kebersamaan di hadapan para Kepala Sekolah adalah salah satu bentuk pengakuan dan penguatan.
“Silahkan pak, waktunya 10 menit,” katanya, ketika menyambut kehadiran saya.
Senyum yang saya bawa dari bangku belakang seketika redup mendengar sapaan awal yang mengisyaratkan sebuah tantangan itu. Rasa kaget mendominasi ruang hati, sebab saya tidak menyangka diberi waktu yang amat singkat.
Dengan mengucapkan kata terima kasih kepada pejabat tersebut, secara perlahan saya sambungkan laptop dengan kabel proyektor, sambil menyalakan kembali semangat serta memoles ulang senyum untuk para Kepala Sekolah yang telah menanti.
Pemaparan materi tentang GSMB Nasional pun dimulai. Saya benar-benar berlomba dengan waktu. Sejumlah slide yang telah saya siapkan dalam bentuk power point terpaksa harus dilewatkan. Meski demikian, garis besarnya bisa saya informasikan selama 10 menit.
Berharap akan adanya penegasan dari pejabat yang menemani, namun enggan dilakukannya. Berakhirnya 10 menit, berakhir pula pertemuan.
Kurang lebih 50 kepala sekolah hadir dalam sosialisasi tersebut. Dari puluhan pemimpin itu, terdapat dua Kepala Sekolah yang memberikan apresiasi dan mengundang khusus saya untuk berkunjung ke sekolah. Jujur, undangan itu seperti oase di tengah padang gurun yang gersang.
Dari pertemuan itu pula saya mendapatkan puluhan nomor kontak para kepala sekolah karena sebelum memulai sosialisasi, saya terlebih dahulu menyebarkan daftar hadir yang turut memuat kolom nomor telepon.
Saya masih berpikiran positif. Mungkin saja dengan durasi sosialisasi yang singkat, banyak Kepala Sekolah yang belum terlalu memahami manfaat GSMB. Jurus selanjutnya adalah, mengirimkan pesan disertai juknis dan beberapa flayer yang memuat fasilitas GSMB.
Kembali pulang ke rumah, saya mulai merangkai kata demi kata menggunakan aplikasi WhatsApp untuk mengirimkkan pesan yang dilampiri juknis serta flayer ke nomor kontak Kepala Sekolah. Menanti balasan hingga keesokan harinya, yang merespon tetap hanya dua Kepala Sekolah yang sama, yang memberikan undangan kunjungan ke sekolah.
Saya akhirnya tiba pada ujung permenungan bahwa mengkampanyekan GSMB, awal mulanya adalah pekerjaan kaki, baru diikuti pekerjaan otak (Sindhunata). Artinya, yang dilakukan pertama-tama adalah berjalan mengunjungi sekolah-sekolah untuk mengenal personilnya, melihat dari dekat kondisi sekolah termasuk geliat literasinya. Sebab dengan menciptakan kedekatan, maka terbukalah pintu bagi kita untuk menuangkan segala ide, informasi dan ajakan, yang dinamakan dengan pekerjaan otak.
Saya akhirnya merubah strategi sosialisasi dari yang sifatnya forum beralih pada kunjungan langsung ke sekolah. Saya lakukan penjadwalan tiga sekolah per hari. Jika tidak ada kesibukan, bisa sampai dengan lima sekolah per hari. Formulanya diawali perkenalan dengan beberapa guru berlanjut ke pimpinan sekolah kemudian memberi informasi tentang program GSMB.
Meski demikian, berpetualang ke sekolah-sekolah, juga tidak lepas dari berbagai tantangan semisal, penolakan, tidak dipersilahkan duduk, bertemu rekan-rekan guru yang cuek atau kepala sekolah yang super sibuk.
Lagu Tegami milik Angela Aki sesungguhnya memberikan arah dan kekuatan. Rintangan terkadang menjadi sandungan dan mengubah perjalanan menjadi tidak indah. Namun dibalik segala sesuatu yang buruk sekali pun ada makna yang harus menjadi alasan untuk terus berjalan dan berjalan.
Setiap kali mengalami beragam tantangan, selalu tertanam pesan dalam sanubari saya, “jangan menyerah, percayalah pada tujuan luhurmu. Jika ada sekolah yang menerima, jemput dan berfokuslah pada itu.”
Buah dari kegigihan, saya berhasil mengikutsertakan lima sekolah dari Kota Kupang yakni SDK St. Yoseph 3 Naikoten, SDK Sta. Maria Assumpta, SMPK St. Yoseph Naikoten, SMPK Sta. Theresia dan SMPK Giovanni. Memang jumlahnya sedikit, tetapi sekolah-sekolah ini akan menjadi obor literasi yang menerangi dan menyalakan semangat anak-anak bangsa untuk meraih masa depan gemilang.
Dalam berbagai upaya kolaboratif, sekolah-sekolah ini harus menjadi pelopor literasi yang menggerakan lembaga lain ikut bersatu dalam gerakan yang sama.
Saya bersyukur dan berterima kasih karena terpilih menjadi bagian dari 100 Sosialisator Program Literasi Nasional. Oleh karena itu, mengkampanyekan GSMB pada sekolah-sekolah binaan, tidak boleh berhenti hanya pada tahapan pendaftarannya saja. Melainkan, perjalanan harus terus dilanjutkan sampai pada sekolah-sekolah tersebut berhasil menghasilkan karya dan menjadi sekolah model literasi di Kota Kupang.