“Mari mengukir sejarah hidup dengan menulis dan menghasilkan karya berupa buku”
Berbicara tentang literasi tentunya yang terbayang di kepala saya tentang bagaimana kemampuan berbahasa seseorang dalam hal membaca, menulis, berbicara, bahkan bisa juga termasuk menghitung yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun tak sedikit orang yang beranggapan bahwa literasi itu proses bilamana cukup jika sudah bisa membaca berarti sudah dianggap berliterasi. Terlepas dari itu semua, apapun pendapat kita tentang literasi tergantung dari persepsi kita masing-masing.
Dunia literasi untuk pendidikan di Indonesia semakin berkembang sejak diberlakukannya Gerakan Literasi Nasional (GLN) sejak tahun 2015. Dimana Gerakan ini merupakan salah satu implementasi Penumbuhan Budi Pekerti yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015.
Sejak diberlakukannya GLN, saya pribadi sebagai guru sekaligus mendapat tugas tambahan sebagai wali kelas melakukan langkah awal untuk memberikan pembiasaan kepada peserta didik saya dengan membuat sudut baca di dalam kelas perwalian saya. Walaupun saat itu sekolah belum menerapkan pembiasaan membaca selama 15 menit sebagai salah satu aksi nyata GLN di sekolah. Pembiasaan berliterasi membaca di area sudut baca saya akomodasi dengan memberikan kartu control membaca untuk setiap peserta didik di perwalian saya, yang akan dilanjutkan dengan bedah hasil baca disetiap hari Jumat. Namun hal tersebut tak berlangsung lama, dikarenakan ketiadaan konsistensi saya sebagai wali kelas yang memantau karena kesibukan lain di sekolah, dan juga beluym adanya dukungan kekompakan dari teman rekan sejawat lain di sekolah.
Namun ketertarikan saya pada dunia literasi tak pernah berhenti sampai disitu. saya mulai terusik hati dan pikiran pada saat ada teman saya yang menawarkan untuk bergabung dalam sebuah organisasi yang bergerak dalam asosiasi kepenulisan. Melalui organisasi ini saya mulai mengenal teman-teman yang fokus pada dunia kepenulisan yang senantiasa mencharge diri untuk berliterasi sampai menghasilkan karya berupa buku. Bahkan perlahan sayapun mulai berlatih untuk menulis dan menghasilkan karya walaupun masih dalam bentuk buku antologi. Setelah itu saya semakin suka dan cinta jika ada hal yang berhubungan dengan gerakan literasi.
Kemudian untuk pertama kalinya saya mengenal rekruitmen Sosialisator Program Literasi (SPL) Nasional dari Nyalanesia melalui ssalah satu grup WhatsApp. Begitu saya melihat flyernya langsung muncul keinginan mendaftar. Awalnya saya beranggapan bahwa saya sebagai peserta akan mengikuti sebuah diklat tentang literasi. Namun ternyata di dalam program tersebut ada beberapa kegiatan yang berkesinambungan. Sampai akhirnya saya lolos menjadi salah satu kandidat SPL Nasional Tahun 2022 dari Kota Makassar, yang kemudian dinyatakan lolos menjadi SPL setelah saya berhasil mengajak satu sekolah untuk join mengikuti program Gerakan Sekolah Menulis Buku (GSMB) dalam uji penerjunan.
Perasaan gembira tak terkira begitu dinyatakan sebagai SPL program GSMB dari Nyalanesia membuat saya bertambah semangat untuk berkelana menguak literasi di sekolah-sekolah yang akan saya datangi. Merencanakan tugas penerjunan ini bagi saya cukup menguras pikiran saya untuk menemukan strategi yang baik untuk menjalankan sosialisasi ke sekolah-sekolah. Di benak saya sudah dengan penuh semangat untuk mendatangi sekolah-sekolah yang ada di Kota Makassar baik dari jenjang SD, SMP atau SMA. Namun ternyata hal tersebut tidak berjalan sesuai dengan harapan saya. Mengapa? Ternyata saya kurang mempertimbangkan bahwa saya ini seorang guru yang mempunyai jam wajib untuk mengajar selama 25 jam pelajaran perminggunya. Dimana jadwal mengajar saya terhitung padat mulai dari hari Senin sampai hari Jumat. Hanya ada beberapa jam lowong di hari Senin dan Kamis.
Awalnya saya mencoba untuk melakukan sosialisasi secara daring, baik itu melalui pesan WA atau menelpon langsung pada guru atau kepala sekolah yang saya kenal di Kota Makassar. Sayangnya, hampir semua yang saya hubungi meminta saya untuk datang langsung ke sekolah untuk menjelaskan secara detail mengenai program yang saya sosialisasi tersebut. Sehingga saya bertekad untuk memprioritaskan berkunjung langsung ke sekolah-sekolah untuk bertatap muka dengan kepala sekolah, tim literasi sekolah, ataupun guru mata pelajaran yang ada perhatian pada dunia literasi.
Tentunya sekolah pertama yang harus saya kuak kegiatan literasinya adalah sekolah tempat saya mengabdi kurang lebih selama 10 Tahun. Memperkenalkan program GSMB kepada kepala sekolah disambut baik, beliau memberikan petunjuk untuk segera dieksekusi kegiatan literasi tersebut. Sehingga dengan cepat saya bergerak mengajak teman guru dan siswa untuk ikut dalam program GSMB ini. Dan Alhamdulillah sebanyak 13 orang guru termasuk saya menyambut baik dan ingin berkontribusi dalam menulis puisi. Walaupun siswa tidak sampai 50 orang yang ikut menulis sebagai syarat minimal untuk tercetaknya sebuah buku antologi yang harus berisi 50 karya didalamnya. Siswa sebanyak 41 orang sangat antusias ingin menerbitkan karya berupa buku, sehingga ada siswa yang menulis lebih dari satu karya untuk mencukupkan syarat minimal terbitnya buku antologi puisi dengan judul “Napas Pelajar di Tepi Kota”.
Langkah selanjutnya yang saya lakukan adalah mencuri-curi waktu luang diluar tugas jam mengajar yang begitu padat. Sambutan hangat banyak saya terima yang diberikan oleh sekolah-sekolah yang saya kunjungi. Bahkan ada kepala sekolah yang memberikan komentar yang sangat membuat saya tersanjung sekaligus merasa tidak enak hati terhadap guru-guru di salah satu sekolah yang saya datangi, utamanya kepada guru Bahasa Indonesia. Kepala sekolah tersebut berkomentar “Wah ternyata ibu seorang guru IPA ya?, perhatian yang sangat luar biasa terhadap dunia literasi. Padahal seharusnya itu dilakukan oleh guru Bahasa Indonesia khan!’ ujarnya.
Ada hal unik lainnya yang saya alami saat bersosialisasi di salah satu sekolah SMP suasta favorit di Kota Makassar yang sangat antusias untuk mengikuti program GSMB ini, walaupun sebelum-sebelumnya sekolah tersebut selalu memiliki proyek wajib yang harus dilakukan oleh siswa-siswanya yaitu menerbitkan satu buku sebelum tamat dari sekolah. Dalam program GSMB yang membuat sekolah tersebut tertarik adalah kegiatan kompetisi tingkat nasionalnya. Karena bukan hanya karya siswa saja yang dilombakan, namun karya guru juga, bahkan ada fasilitas web literasi yang disediakan juga ikut dilombakan. Hal unik yang ingin saya sampaikan adalah saya sebagai SPL diminta oleh sekolah untuk mendampingi siswa-siswanya untuk dibimbing bagaimana cara mengakses online semua materi-materi yang ada, dan ternyata jasa yang saya berikan dihargai oleh sekolah tersebut.
Sambutan negatifpun pernah saya rasakan saat berkunjung ke sebuah Sekolah Menengah Atas yang lokasinya dekat dari sekolah saya. Sekolah itu saya kunjungi tanpa melakukan janji temu terlebih dahulu. Saya hanya merasa bahwa sekolah dimanapun berada asalkan masih berada dalam wilayah Kota Makassar akan saya masuki untuk melakukan sosialisasi GSMB sebagai wujud tugas pokok saya sebagai SPL yang memiliki target harus mensosialisasikan kurang lebih 30 sekolah dalam satu bulan. Saat masuk bertemu langsung dengan kepala sekolahnya, memang saya disambut dengan sopan, namun begitu saya menyampaikan bahwa saya berkunjung untuk mensosialisasikan GSMB, penyambutannya berubah drastis menjadi tidak bersahabat lagi. Saat saya menerangkan bahwa siswa dan guru bisa menerbitkan karya berupa buku, langsung dijawab lantang “Kami dari dulu sudah menghasilkan buku setiap tahunnya”, ucapnya sambil memainkan handphonenya dan tidak sedikitpun melihat ke arah saya. Kemudian saya menyampaikan keunggulan program GSMB lainnya yaitu semua karya akan dikompetisikan tingkat nasional, beliau menjawab “Kami tidak butuh ikut-ikut lomba, karena kami membuat buku agar dapat dibaca sudah cukup”, ungkapnya. Sehingga saya merasa tidak perlu lagi melanjutkan uraian-uraian berikutnya tentang program-program yang ada dalam GSMB, dan segera mohon pamit dengan sopan dan tak lupa untuk mengucapkan terima kasih banyak karena sudah mau menerima kunjungan saya.
Sambutan baik maupun tidak yang saya terima dari sekolah- sekolah yang saya kunjungi, ternyata membuat saya semakin menguatkan tekad untuk terus menguak literasi di sekolah-sekolah. Setelah kurang lebih 3 bulan bergerilya di terik dan hujannya jalan-jalan yang ada di Kota Makassar untuk memperkenalkan program literasi yakni GSMB, akhirnya masa penerjunan saya berakhir hanya dengan prestasi berhasil mengajak sekolah untuk bergabung dalam GSMB kurang dari 10 sekolah yang ada di Kota Makassar. Namun kedepannya saya ingin terus konsisten untuk memperkenalkan bahwa ada program literasi yang sangat bagus untuk dilakukan oleh sekolah agar karya-karya siswa dan guru dapat menjadi sejarah terindah untuk sekolah, walaupun penugasan saya sebagai SPL berakhir di akhir tahun 2022.
BIODATA PENULIS
Rostina Arsani. Lahir di Ujungpandang 28 Juli 1979. Tinggal di Gantarang Desa Taeng Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Telah menyelesaikan Pendidikan Pascasarjana juruan Pendidikan Biologi di Universitas Negeri Makassar (UNM) pada tahun 2016. Penulis merupakan guru di sebuah sekolah menengah pertama, tepatnya di SMPN 15 Makassar yang terletak di ujung selatan Kota Makassar, dan mengampu mata pelajaran IPA. Pengalaman dalam dunia kepenulisan belum terlalu banyak, namun ketertarikan dalam dunia literasi dimulai setelah selesai menempuh Pendidikan di pascasarjana tersebut. Pernah memiliki pengalaman sebagai sekretaris redaksi sebuah jurnal tingkat wilayah Sulawesi Selatan membuat penulis menekuni lebih dalam dunia literasi. Pengalaman lainnya pernah menjadi editor salah satu karya siswa berupa antologi puisi dengan judul “Sajak Muda Penulis Muda” yang merupakan karya dari siswa-siswa sebuah sekolah Madrasah Tsanawiah di Kabupaten Gowa. Penulis bisa dihubungi melalui No Hp. 085696198236 dan Email: teenarsany.79@gmail.com.